RANCANGAN
UNDANG-UNDANG
|
HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA
BIDANG PERKAWINAN
|
|
2008
|
|
DAFTAR ISI
halaman
KONSIDERAN
2
BAB I KETENTUAN UMUM 4
BAB II DASAR-DASAR PERKAWINAN 7
BAB III PEMINANGAN 8
BAB IV RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN 9
BAB V MAHAR 13
BAB VI LARANGAN PERKAWINAN DAN
PERKAWINAN YANG DILARANG 14
BAB VII TAKLIK TALAK DAN PERJANJIAN
PERKAWINAN 17
Bagian Kesatu : Taklik Talak 17
Bagian Kedua : Perjanjian Perkawinan 17
BAB
VIII PERKAWINAN PEREMPUAN HAMIL KARENA
ZINA 19
BAB IX BERISTERI LEBIH DARI SATU ORANG 20
BAB X PENCEGAHAN PERKAWINAN 22
BAB XI
BATALNYA PERKAWINAN 24
BAB
XII HAK DAN
KEWAJIBAN SUAMI ISTERI 27
Bagian Kesatu : Umum 27
Bagian Kedua : Kedudukan Suami Isteri 27
Bagian Ketiga : Kewajiban Suami 28
Bagian Keempat : Tempat
Kediaman 29
Bagian Kelima : Kewajiban
Isteri 29
BAB
XIII HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN 30
BAB
XIV KEDUDUKAN ANAK 33
BAB XV PUTUSNYA PERKAWINAN 34
BAB
XVI AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN 39
Bagian Kesatu : Akibat
Cerai Talak 39
Bagian Kedua : Waktu
Tunggu 39
Bagian Ketiga : Harta
Bersama Akibat Perceraian 41
Bagian Keempat : Akibat
Khuluk 41
Bagian Kelima : Akibat Lian 41
BAB XVII PEMELIHARAAN ANAK 41
BAB
XVIII PERWALIAN 43
BAB XIX RUJUK 45
BAB XX
PERKAWINAN CAMPURAN 46
BAB
XXI KETENTUAN PIDANA 46
BAB
XXII KETENTUAN LAIN 48
BAB
XXIII KETENTUAN PERALIHAN 48
BAB XXIV KETENTUAN PENUTUP 49
PENJELASAN UMUM
50
PENJELASAN PASAL
DEMI PASAL 52
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR __ __ TAHUN __ __ __ __
TENTANG
HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA
BIDANG PERKAWINAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa penyelesaian perkara pada Badan Peradilan
Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan ke-hakiman dalam
menegakkan hukum dan keadilan harus berdasarkan undang-undang;
b. bahwa hukum materiil peradilan agama di bidang
perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-Un-dang Nomor 1 Tahun
1974 dan Peraturan Pelaksa-naannya belum memadai bagi Badan Peradilan A-gama dalam
memeriksa, memutus, dan menyelesai-kan perkara sehingga perlu menggunakan landasan
Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Instruksi Pre-siden Nomor 1
Tahun 1991;
c. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Un-dang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang mengatur tentang susunan, kekuasaan, dan acara Peradilan Agama perlu
ditindaklanjuti dengan pembentukan undang-undang yang mengatur ten-tang hukum materiil peradilan agama di
bidang per-kawinan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana di-maksud
pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Hukum
Ma-teriil Peradilan Agama Bidang Perkawinan.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Da-sar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Per-kawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Ta-hun 1974 Nomor 1; Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2019);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama sebagaimana telah diubah dengan Un-dang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Per-ubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran
Negara Repu-blik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3400);
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Ke-kuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Republik In-donesia Tahun 2004 Nomor 8; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
Dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG HUKUM MATERIIL PERADILAN AGAMA
BIDANG PERKAWINAN.
B A B I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Pasal 1x
Yang
dimaksud dalam Undang-Undang ini dengan:
a.
perkawinan
adalah pernikahan yang berlaku bagi umat Islam;
b.
peminangan
atau disebut khitbah adalah
permintaan dari pihak laki-laki sebagai peminang kepada pihak perempuan yang
dipinang untuk menikah;
c.
wali
nikah adalah laki-laki yang berhak menikahkan seorang perempuan,
menurut hukum Islam, baik wali nasab maupun wali hakim;
d.
wali
nasab adalah laki-laki yang mempunyai hubungan darah dengan
pihak ayah calon mempelai perempuan;
e.
wali
hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh Menteri Agama, untuk bertindak sebagai wali nikah bagi mempelai
perempuan yang tidak mempunyai wali atau mempunyai wali yang
tidak dapat menggunakan hak walinya;
f.
akad
nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya dan
kabul yang diucapkan oleh mem-pelai laki-laki atau wakilnya dengan disaksikan oleh dua
orang saksi;
g.
Akta Nikah
adalah dokumen resmi yang diterbitkan/dikeluarkan oleh Pejabat Pencatat
Nikah sebagai alat bukti autentik tentang telah terjadinya perkawinan;
h.
Pejabat
Pencatat Nikah atau disebut Penghulu adalah pegawai negeri sipil yang diangkat
oleh Menteri Agama dengan kewenangan untuk mencatat dan mengadminis-trasikan
perkawinan menurut Undang-Undang;
i.
mahar
adalah pemberian dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan, dalam
bentuk benda atau uang yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;
j.
taklik
talak adalah perjanjian yang diucapkan mempelai laki-laki setelah akad nikah
yang dicantumkan dalam Kutipan Akta Nikah, berupa
janji talak yang digantungkan kepada keadaan tertentu yang mungkin terjadi di
masa yang akan datang;
k.
pemeliharaan
anak atau disebut hadanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara,
dan mendidik anak hingga dewasa atau
mampu berdiri sendiri;
l.
perwalian
adalah kewenangan yang diberikan kepada seseo-rang
untuk melakukan suatu perbuatan hukum sebagai wa-kil
untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mem-punyai
orangtua, atau orangtua yang masih hidup tidak ca-kap
melakukan perbuatan hukum;
m. khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri
dengan memberikan tebusan atau iwad kepada suami atau atas persetujuan
suaminya;
n.
nusyuz adalah
perilaku membangkang dan mengingkari ke-wajiban yang
dilakukan oleh isteri terhadap suami atau se-baliknya;
o.
qabladdukhul
adalah kondisi suami isteri belum melakukan hubungan badan;
p.
ba’dadukhul adalah
kondisi suami isteri telah melakukan hubungan badan;
q.
mutah
(mut’ah) adalah pemberian berupa
benda atau uang dari bekas suami kepada isteri yang telah dijatuhi
talak;
r.
perkawinan
mutah adalah perkawinan yang dilangsungkan untuk jangka waktu
tertentu dengan maksud untuk mencari kesenangan dan/atau kepuasan seksual;
s.
zina
adalah hubungan badan di luar nikah yang dilakukan oleh seorang laki-laki
dengan seorang perempuan;
t.
lian
(li’an) adalah sumpah dengan
cara tertentu yang diucapkan oleh suami yang mengandung tuduhan bahwa isterinya
telah berzina, atau sangkalan bahwa janin/bayi yang dikandung/ dilahirkan
oleh isterinya sebagai anak kandungnya; dan di-ikuti
dengan sumpah yang diucapkan oleh isteri yang mengandung penolakan atas tuduhan
suami;
u.
Pengadilan
adalah Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar-iyah.
B A B II
DASAR-DASAR
PERKAWINAN
Pasal 2
Pasal 2x
Perkawinan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai
suami isteri berdasarkan akad nikah yang diatur dalam Undang-Undang ini dengan
tujuan untuk membentuk keluarga sakinah atau rumah tangga yang bahagia sesuai
dengan hukum Islam.
Pasal 3
Pasal 3x
Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam.
Pasal 4
Pasal 4x
Setiap perkawinan wajib dicatat oleh Pejabat Pencatat Nikah menu-rut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 5
Pasal 5x
(1)
Untuk memenuhi ketentuan Pasal 4, setiap
perkawinan wajib di-langsungkan
di hadapan Pejabat Pencatat Nikah.
(2)
Perkawinan yang tidak dilakukan sesuai dengan
ketentuan ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 6
Pasal 6x
(1) Perkawinan
dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pejabat Pencatat Nikah.
(2) Dalam
hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Ni-kah,
dapat diajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan.
(3)
Permohonan
isbat nikah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan dengan alasan
hilangnya Akta Nikah dan Ku-tipannya.
(4)
Perkawinan
yang dilakukan tidak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah dapat diisbatkan dengan
dikenai sanksi pidana yang diten-tukan dalam Undang-Undang ini.
(5) Yang berhak mengajukan permohonan isbat nikah adalah
suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berke-pentingan
dengan perkawinan itu.
Pasal 7
Pasal 7x
Putusnya perkawinan selain karena
kematian dibuktikan dengan Akta Cerai berdasarkan putusan Pengadilan.
Pasal 8
Pasal 8x
(1)
Apabila Akta Cerai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 tidak ditemukan karena hilang atau sebab lain yang sah, dapat dimin-takan keterangan resmi dari Pengadilan.
(2)
Dalam hal keterangan resmi dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan atau gugatan perce-raian kepada Pengadilan.
Pasal 9
Pasal 9x
Rujuk dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pencatatan Rujuk yang dikeluarkan oleh
Pejabat Pencatat Nikah.
B A B III
PEMINANGAN
Pasal 10
Pasal 10x
Peminangan dilakukan secara langsung oleh
laki-laki yang hendak menikah atau wakilnya yang dipercaya.
Pasal 11
Pasal 11x
(1)
Peminangan dilakukan terhadap seorang perempuan
yang belum pernah menikah atau perempuan yang sudah pernah menikah yang idahnya
telah habis.
(2)
Peminangan dilarang terhadap:
a.
perempuan yang masih berada dalam idah,
kecuali yang ditinggal mati suaminya dapat dipinang secara sindiran (ta’-ridl);
b.
perempuan yang sedang dipinang laki-laki lain
selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak
perempuan.
(3)
Pinangan
pihak laki-laki dinyatakan putus dengan adanya per-nyataan
tentang putusnya hubungan pinangan.
Pasal 12
Pasal 12x
(1)
Peminangan
belum menimbulkan akibat hukum perkawinan bagi para pihak.
(2)
Para pihak
dapat memutuskan hubungan pinangan dengan tata cara yang baik sesuai dengan
tuntunan agama Islam dan kebi-asaan setempat yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
(3)
Dalam hal
pemutusan hubungan pinangan menimbulkan keru-gian
terhadap salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan da-pat
mengajukan gugatan ke Pengadilan.
B A B IV
RUKUN
DAN SYARAT PERKAWINAN
Pasal 13
Pasal 13x
(1)
Untuk
melaksanakan perkawinan harus ada:
a.
calon
suami;
b.
calon
isteri;
c.
wali nikah;
d.
dua orang
saksi;
e.
ijab dan kabul; dan
f.
mahar.
(2)
Pelaksanaan perkawinan
yang tidak memenuhi ketentuan pada ayat (1) tidak sah.
Pasal 14
Pasal 14x
(1) Untuk
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya dapat dilakukan apabila
calon mempelai
laki-laki telah mencapai umur 19 tahun dan calon mempelai perempuan men-capai umur 16 tahun.
(2) Dalam hal
terjadi penyimpangan terhadap ayat (1), orangtua atau walinya harus
meminta dispensasi
kepada Pengadilan.
Pasal 15
Pasal 15x
(1) Perkawinan
didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
(2) Bentuk
persetujuan calon mempelai perempuan dapat berupa pernyataan tegas dengan lisan
atau tulisan, dengan isyarat, atau dengan diam, dalam arti tidak ada penolakan.
Pasal 16
Pasal 16
(1)
Sebelum
perkawinan berlangsung, Pejabat Pencatat Nikah mena-nyakan lebih dahulu persetujuan
calon mempelai di hadapan dua orang saksi nikah.
(2)
Apabila
perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan
tersebut tidak dapat dilangsungkan.
(3)
Persetujuan
calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu dapat dinyatakan
dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Pasal 17
Pasal 17
Selain
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 dan 16, perkawinan dapat
dilangsungkan apabila tidak terdapat larangan perkawinan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
Pasal 18
Pasal 18
(1)
Wali nikah
terdiri atas:
Pasal 19
Pasal 19
(1) Wali nasab
terdiri dari empat kelompok menurut kedudukan
dan hubungan
kekerabatan dengan
calon mempelai perempuan,
de-ngan
urutan sebagai berikut:
a.
Ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya;
b.
Saudara
laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah,
dan keturunan laki-laki mereka;
c.
saudara
laki-laki kandung ayah, saudara laki-laki seayah dari ayah,
dan keturunan laki-laki mereka; dan
d.
Saudara
laki-laki kandung dari orangtua laki-laki ayah, saudara
laki-laki seayah dari orangtua laki-laki ayah, dan keturunan
laki-laki mereka.
(2)
Dalam hal seorang janda tidak mempunyai wali
kecuali anak kandungnya yang laki-laki, maka anak kandungnya tersebut menjadi
wali bagi dirinya.
(3)
Apabila terdapat beberapa orang dalam satu
kelompok wali nikah maka yang paling berhak adalah wali yang memiliki hubungan kekerabatan
paling dekat dengan calon mempelai perempuan.
(4)
Apabila dalam satu kelompok wali memiliki kesamaan
derajat kekerabatan maka saudara kandung lebih berhak menjadi wali nikah dari pada
saudara seayah.
(5)
Dalam hal satu kelompok wali hanya terdiri dari
saudara kandung atau saudara seayah maka
hak menjadi wali nikah diberikan kepada yang berusia lebih tua.
(6)
Perselisihan
tentang wali nikah dapat diselesaikan melalui pe-netapan Pengadilan dan tidak
dapat dimohonkan banding atau kasasi.
Pasal 20
Pasal 20
Apabila
wali nikah yang paling berhak menurut urutannya tidak memenuhi syarat sebagai
wali nikah maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut
derajat berikutnya.
Pasal 21
Pasal 21
(1)
Wali hakim bertindak sebagai wali nikah apabila
wali nasab tidak ada, tidak mungkin menghadirkannya, tidak diketahui tempat
tinggalnya, atau enggan menikahkan (‘adhal).
(2)
Dalam hal wali ‘adhal, wali hakim hanya
dapat bertindak
sebagai wali nikah setelah ada penetapan Pengadilan tentang ‘adhal-nya wali tersebut.’
Pasal 22
Pasal 22
Selain wali nasab
dan wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 21, tidak sah bertindak sebagai wali nikah.
Pasal 23
Pasal 23
Setiap perkawinan
harus disaksikan sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi yang memenuhi syarat:
a.
laki-laki,
b.
muslim,
c.
adil,
d.
akil,
e.
balig,
dan
f.
tidak tuna
rungu dan/atau tidak tuna netra.
Pasal 24
Pasal 24
Saksi
wajib hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani
Akta Nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
Pasal 25
Pasal 25
Ijab dan
kabul antara wali nikah dan calon mempelai laki-laki harus dilaksanakan secara
jelas dan dilangsungkan dalam satu majelis akad nikah
yang beruntun dan tidak berselang waktu.
Pasal 26
Pasal 26
(1)
Ijab diucapkan
oleh wali nikah atau wakilnya, dan kabul diucapkan
oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.
(2)
Dalam hal
calon mempelai perempuan atau wali berkeberatan terhadap calon
mempelai laki-laki yang mewakilkan ucapan ka-bulnya maka akad
nikah tidak dapat dilangsungkan.
B A B V
MAHAR
Pasal 27
Pasal 27
(1) Mempelai laki-laki berkewajiban memberi mahar kepada mempe-lai
perempuan.
(2)
Bentuk,
jenis, dan jumlah mahar didasarkan atas asas keseder-hanaan
dan kepatutan yang disepakati kedua belah pihak.
(3)
Mahar
menjadi hak milik pribadi mempelai perempuan.
Pasal 28
Pasal 28
(1)
Mahar
dibayar langsung secara tunai kepada mempelai perem-puan.
(2)
Apabila
calon mempelai perempuan menyetujui, pembayaran mahar boleh ditangguhkan
seluruhnya atau sebagian dan menja-di hutang mempelai laki-laki.
Pasal 29
Pasal 29
(1)
Suami yang
menalak isterinya qabladdukhul dan belum membayar mahar,
wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah, kecuali jika qabladdukhul
itu terjadi karena kesalahan atau nusyuznya
isteri.
(2)
Apabila
suami meninggal dunia qabladdukhul maka seluruh
ma-har yang ditetapkan menjadi hak penuh isterinya.
(3)
Apabila
terjadi perceraian qabladdukhul namun besarnya mahar belum ditetapkan
maka suami wajib membayar mutah.
Pasal 30
Pasal 30
(1) Mahar
yang mengandung cacat atau kurang, tetapi diterima tanpa syarat oleh mempelai
perempuan dianggap telah dibayar lunas.
(2) Suami
harus mengganti mahar yang cacat atas permintaan isteri.
(3) Dalam hal terjadi
perselisihan mengenai mahar maka penyele-saian perselisihan dapat
diajukan ke
Pengadilan.
B A B VI
LARANGAN PERKAWINAN
DAN PERKAWINAN YANG DILARANG
Pasal 31
Pasal 31
Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang laki-laki de-ngan
seorang perempuan, disebabkan:
b.
berhubungan
darah dalam garis keturunan ke samping, yaitu saudara, saudara orangtua, dan
saudara kakek/nenek;
Pasal 32
Pasal 32
(1)
Seorang laki-laki dilarang memadu isterinya dengan
seorang perempuan yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau susuan dengan
isterinya.
(2) Larangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isterinya telah
ditalak dan masih dalam idah.
Pasal 33
Pasal 33
Seorang
laki-laki dilarang melangsungkan perkawinan dengan seo-rang perempuan yang:
a.
terikat
perkawinan dengan laki-laki lain;
b.
berada
dalam masa idah dengan laki-laki lain; dan/atau
c.
tidak beragama Islam.
Pasal 34
Pasal 34
Dalam hal
seorang laki-laki mempunyai
4 (empat) orang isteri, yang
bersangkutan dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan apabila:
a. masih terikat tali
perkawinan yang sah dengan isteri-iste-rinya;
b.
salah
seorang atau beberapa orang dari keempat isterinya tersebut masih dalam idah
talak raj’i; atau
c. keempat
isterinya masih dalam idah talak raj’i.
Pasal 35
Pasal 35
(1)
Dilarang
melangsungkan perkawinan antara seorang laki-laki dan:
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a tidak berlaku, jika bekas isterinya
telah kawin dengan laki-laki lain sebagaimana layaknya.
Pasal 36
Pasal 36
Seorang
perempuan muslimah dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki
yang tidak beragama Islam.
Pasal 37
Pasal 37
(1)
Selama seseorang masih dalam keadaan ihram,
dilarang melangsungkan perkawinan dan bertindak sebagai wali nikah dan menjadi
saksi dalam perkawinan.
(2)
Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram,
atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.
Pasal 38
Pasal
38
Seorang isteri dilarang memiliki
suami lebih dari satu orang.
Pasal 39
Pasal 39
Laki-laki
muslim atau perempuan muslimah dilarang melang-sungkan
perkawinan mutah.
B A B VII
TAKLIK TALAK
DAN PERJANJIAN PERKAWINAN
Bagian Kesatu
Taklik Talak
Pasal 40
Pasal 40
(1)
Setelah akad nikah, suami dapat
mengucapkan dan menan-datangan taklik talak di hadapan Pejabat Pencatat Nikah.
(2)
Isi taklik
talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.
(3)
Dalam hal
pernyataan yang tercantum dalam taklik talak kemu-dian
terjadi, talak jatuh jika isteri mengajukan gugatan ke Penga-dilan
dan gugatan tersebut diterima.
(4)
Perjanjian
taklik talak bukan suatu kewajiban dalam perka-winan, tetapi jika sudah
diperjanjikan tidak dapat dicabut kem-bali.
Bagian Kedua
Perjanjian Perkawinan
Pasal 41
Pasal 41
(1)
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan
kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pejabat
Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perka-winan.
(2) Perjanjian tersebut
pada ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta
pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
(3) Di samping ketentuan pada Ayat (1) dan (2) di atas, dapat
pula isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan
ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
Pasal 42
Pasal 42
(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan
mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut
tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebu-tuhan rumah tangga.
(2) Apabila dibuat
perjanjian perkawinan yang tidak memenuhi ke-tentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dianggap tetap ter-jadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan
kewa-jiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Pasal 43
Pasal 43
(1)
Perjanjian percampuran harta pribadi dapat
meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun
yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.
(2)
Dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat
(1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi hanya
terbatas pada harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan,
sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama
perkawinan atau sebaliknya.
Pasal 44
Pasal 44
(1)
Perjanjian perkawinan mengenai harta mengikat
kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan
perkawinan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah.
(2)
Perjanjian
perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri
dan wajib didaftarkan di Kantor Pejabat Pencatat Nikah tempat perkawinan dilang-sungkan.
(3)
Sejak
pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi
terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu
diumumkan oleh suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.
(4)
Apabila
dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan,
pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak
ketiga.
(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai
harta tidak boleh merugikan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan pihak ketiga.
Pasal 45
Pasal 45
Pelanggaran
atas perjanjian perkawinan dapat dijadikan alasan bagi isteri atau suami untuk
meminta pembatalan nikah atau meng-ajukan gugatan perceraian ke Pengadilan.
Pasal 46
Pasal 46
Pada saat dilangsungkan
perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat, dapat diperjanjikan
mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang
akan dini-kahinya itu sepanjang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
B A B VIII
PERKAWINAN PEREMPUAN HAMIL
KARENA ZINA
Pasal 47
Pasal 47
(1)
Seorang
perempuan hamil karena zina, dapat dikawinkan dengan laki-laki yang menzinainya.
(2)
Perkawinan
dengan perempuan hamil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilangsungkan
tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
(3)
Dengan dilangsungkannya
perkawinan pada saat perempuan hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah
anak yang dikandung lahir.
Pasal 48
Pasal 48
Perempuan hamil akibat perkosaan dapat dikawinkan dengan laki-laki lain
tanpa menunggu kelahiran anaknya dan tidak diperlukan perkawinan ulang sebagaimana dimaksud dalam pasal 47
ayat (3).
Pasal 49
Pasal 49
Dalam hal seorang laki-laki
menzinai seorang perempuan yang belum kawin dan menyebabkan kehamilannya,
sedangkan laki-laki tersebut menolak mengawininya sehingga terjadi perselisihan,
maka penyelesaiannya diajukan ke Pengadilan.
B A B
IX
BERISTERI
LEBIH DARI SATU ORANG
Pasal 50
Pasal 50
(1)
Beristeri
lebih dari satu orang pada waktu yang bersamaan, dibatasi
hingga empat orang isteri.
(2)
Untuk
dapat beristeri lebih dari seorang, suami disyaratkan mampu memberikan nafkah
lahir dan batin serta berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3)
Dalam hal
syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi, suami dilarang
beristeri lebih dari seorang.
Pasal 51
Pasal 51
Pada
saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga,
atau keempat, dapat diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran,
dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dini-kahinya
itu sepanjang tidak bertentangan dengan Hukum Islam.
Pasal 52
Pasal 52
(1)
Suami yang
hendak beristeri lebih dari satu orang wajib mengajukan permohonan izin kepada
Pengadilan.
(2)
Pengajuan
permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan
peraturan perudang-undangan.
(3)
Perkawinan
yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga,
atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal 53
Pasal 53
(1) Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit
yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri
tidak dapat melahirkan keturunan; atau
d.
terdapat alasan lain yang dibenarkan menurut
hukum.
(2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b dan huruf c harus dibuktikan dengan keterangan tim dokter rumah sakit yang
ditunjuk oleh pemerintah atas permintaan pengadilan.
Pasal 54
Pasal 54
(1) Selain
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) maka untuk memperoleh izin
Pengadilan, harus dipenuhi pula syarat-syarat sebagai berikut:
(2)
Persetujuan
isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan,
tetapi sekalipun telah ada persetujuan ter-tulis,
harus dipertegas dengan
persetujuan lisan isteri pada si-dang Pengadilan.
(3)
Persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila:
a. isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin
dimintai perse-tujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;
b. tidak ada kabar dari isteri atau
isteri-isterinya sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun; atau
c. sebab lain yang perlu mendapat penilaian
Hakim.
Pasal 55
Pasal 55
Dalam hal
isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang telah meme-nuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), Pengadilan dapat
menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar keterangan isteri
yang bersangkutan di persidangan Pe-ngadilan, dan terhadap penetapan ini tidak
dapat dimintakan ban-ding atau kasasi.
B A B X
PENCEGAHAN PERKAWINAN
Pasal 56
Pasal 56
(1) Pencegahan
perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang dan yang
tidak memenuhi syarat menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
(2) Pencegahan
perkawinan harus dilakukan bila calon suami atau calon isteri tidak memenuhi
syarat menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
Pasal 57
Tidak sepadan (sekufu) tidak dapat dijadikan
alasan untuk men-cegah
perkawinan, kecuali tidak sekufu karena alasan akhlak dan perbedaan agama.
Pasal 58
Pasal 58
(1) Yang dapat mencegah perkawinan adalah para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari
salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Walaupun ayah kandung tidak pernah melaksanakan
fungsinya sebagai kepala keluarga, hak kewaliannya tidak gugur untuk mencegah
perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.
Pasal 59
Pasal 59
Pencegahan
perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam
perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan
melangsungkan perkawinan.
Pasal 60
Pasal 60
Pejabat
Pencatat Nikah berwenang mencegah perkawinan jika rukun dan syarat perkawinan
tidak dipenuhi.
Pasal 61
Pasal 61
(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada
Pengadilan di daerah hukum tempat perkawinan akan dilangsungkan serta diberita-hukan
kepada Pejabat Pencatat Nikah.
(2) Pemberitahuan mengenai permohonan pencegahan
perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga disampaikan Kepada calon
mempelai oleh Pejabat Pencatat Nikah.
Pasal 62
Pasal 62
Perkawinan
tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut oleh pemohon.
Pasal 63
Pasal 63
Dalam hal
Pengadilan menolak permohonan pencegahan maka perkawinan dapat dilangsungkan.
Pasal 64
Pasal 64
Pejabat
Pencatat Nikah dilarang melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan
bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan Pasal 14, Pasal 31, Pasal
32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38
Undang-Undang ini, meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Pasal 65
Pasal 65
(1) Pejabat Pencatat Nikah wajib menolak
perkawinan jika terdapat larangan menurut Undang-Undang ini.
(2) Dalam hal adanya penolakan maka atas
permintaan salah satu pihak yang berkehendak melangsungkan perkawinan, Pejabat
Pencatat Nikah menerbitkan surat penolakan disertai dengan alasan penolakannya.
(3) Para pihak yang kehendak nikahnya ditolak
berhak mengajukan permohonan untuk mendapatkan penetapan Pengadilan yang
mewilayahi Pejabat Pencatat Nikah, dengan menyerahkan surat penolakan tersebut.
(4) Pengadilan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan memberikan penetapan,
apakah menguatkan penolakan tersebut
atau memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan.
(5) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
hilang ke-kuatannya jika larangan yang mengakibatkan penolakan tersebut telah hilang,
dan para pihak yang hendak melangsungkan perka-winan dapat mengulangi
pemberitahuan kehendak nikah mereka.
B A B XI
BATALNYA PERKAWINAN
Pasal 66
Pasal 66
Perkawinan
batal apabila:
a.
seseorang
melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah
mempunyai empat o-rang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu
dalam idah talak raj’i;
b. seseorang
menikahi bekas isterinya yang telah diliannya;
c. seseorang
menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak;
d. perkawinan
dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, atau
sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut
Undang-Undang ini;
e. perempuan
yang dikawini ternyata masih dalam idah dari suami lain; atau
f.
perkawinan dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.
Pasal 67
Pasal 67
Suatu
perkawinan dapat dibatalkan apabila:
a.
seorang
suami beristeri lebih dari satu orang tanpa izin Pengadilan;
b.
perempuan
yang dikawini ternyata masih menjadi isteri laki-laki lain yang mafqud;
c.
perkawinan
yang melanggar batas umur perkawinan, seba-gaimana
dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1); atau
d.
perkawinan
yang dilaksanakan dengan paksaan.
Pasal 68
Pasal 68
(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pem-batalan
perkawinan apabila:
a.
perkawinan dilangsungkan di bawah
ancaman;
b.
terjadi penipuan dalam perkawinan;
atau
c. salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
(2) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka
itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu
masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk
mengajukan permohonan pemba-talan, maka haknya gugur.
Pasal 69
Pasal 69
Yang dapat
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah:
a.
para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas
dan ke bawah dari suami atau isteri;
b.
suami atau
isteri ;
c.
Pejabat
Pencatat Nikah; atau
d.
pihak yang
berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan.
Pasal 70
Pasal 70
(1)
Permohonan
pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan yang mewilayahi
tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan.
(2)
Batalnya
suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 71
Pasal 71
Keputusan
Pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a.
anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; dan/atau
b.
pihak
ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum
putusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 72
Pasal 72
Batalnya
suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan
orangtuanya.
B A
B XII
HAK
DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal 73
Pasal 73
(1) Suami
isteri berkewajiban menegakkan rumah tangga yang sakinah yang dilandasi mawadah
dan rahmah.
(2)
Suami
isteri harus saling mencintai, menghormati, setia, dan membimbing serta saling
memberi bantuan lahir batin.
(3)
Suami
isteri harus mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya.
(4)
Suami
isteri harus memelihara
kehormatan diri dan nama baik keluarganya.
(5)
Jika suami
atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan.
Pasal 74
Pasal 74
(1)
Suami
isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
(2)
Tempat
kediaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diten-tukan
bersama oleh suami isteri.
Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri
Pasal 75
Pasal 75
(1)
Suami
adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
(2)
Hak dan
kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan keluarga dan rumah tangga serta pergaulan hidup bersama dalam
masyarakat.
(3)
Masing-masing
suami dan isteri berhak untuk melakukan perbu-atan
hukum sesuai dengan ketentuan perundangan yang ber-laku.
Bagian Ketiga
Kewajiban Suami
Pasal 76
Pasal 76
(1) Suami
adalah pembimbing isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai urusan
penting dalam rumah tangga diputuskan bersama oleh suami isteri.
(2) Suami
harus melindungi dan membantu isteri lahir dan batin serta memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tang-ga sesuai dengan kemampuannya.
(3) Suami
harus memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan
belajar pengetahuan yang berguna dan ber-manfaat.
(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung:
(5) Apabila suami tidak dapat melaksanakan kewajibannya
sebagai-mana dimaksud ayat (2) dan (4), isteri dengan
kerelaannya dapat membebaskan suami dari kewajiban tersebut.
(6) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud pada ayat (5) gugur
apabila isteri nusyuz.
Pasal 77
Pasal 77
Dalam hal suami menunjukkan tanda-tanda nusyuz atau tidak mempergauli isteri dengan baik maka isteri dapat
menentukan pilihannya apakah tetap mempertahankan perkawinan atau meng-ajukan
gugat cerai.
Bagian Keempat
Tempat Kediaman
Pasal 78
Pasal 78
(1) Tempat
kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk suami isteri dan anak-anaknya
selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam idah talak atau idah wafat yang
disediakan oleh suami atau diusahakan bersama.
(2) Tempat
kediaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menca-kup perlengkapan rumah tangga
dan sarana penunjang lainnya sesuai dengan kemampuan suami.
Pasal 79
Pasal 79
Suami yang
mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberi tempat tinggal dan
biaya hidup kepada masing-masing is-teri secara berimbang menurut
besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali
jika ada perjanjian per-kawinan.
Bagian Kelima
Kewajiban Isteri
Pasal 80
Pasal 80
(1) Isteri
wajib menaati suami lahir dan batin di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh
hukum Islam.
(2)
Isteri wajib
mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
Pasal 81
Pasal 81
(1)
Isteri
dapat dianggap nusyuz jika ia
tidak melaksanakan kewa-jiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 tanpa
a-lasan yang sah.
(2)
Kewajiban
suami terhadap isteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 tidak berlaku kecuali yang berkaitan dengan
kepenting-an anak dan berlaku kembali sesudah isteri tidak nusyuz.
(3)
Ketentuan
tentang adanya nusyuz
isteri harus berdasarkan buk-ti
yang sah dan ditetapkan oleh Pengadilan.
B A
B XIII
HARTA
KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN
Pasal 82
Pasal 82
(1)
Perkawinan
tidak mengakibatkan percampuran harta suami dan harta isteri kecuali suami
isteri menentukan lain.
(2)
Harta
isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, harta suami tetap menjadi hak suami dan
dikuasai penuh oleh-nya.
Pasal 83
Pasal 83
Harta
kekayaan dalam perkawinan dapat terdiri dari:
a.
Harta
bersama (syirkah), yaitu harta yang
diperoleh suami isteri baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama
dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama
siapapun kecuali suami isteri menen-tukan
lain;
b.
Harta
bawaan, yaitu harta masing-masing suami atau isteri yang diperoleh sebelum
terjadi perkawinan dan hasilnya;
c.
Warisan,
hibah, dan hadiah yang diperoleh masing-masing suami isteri dalam perkawinan.
Pasal 84
Pasal 84
(1) Harta
kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
83 huruf b dan huruf c, di bawah
penguasaan masing-masing, sepanjang pa-ra pihak tidak menentukan lain
dalam perjanjian perkawinan atau perjanjian lain.
(2) Suami dan
isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta
masing-masing berupa hibah, ha-diah,
shadaqah atau lainnya.
(3)
Terhadap
harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas perse-tujuan
kedua belah pihak.
Pasal 85
Pasal 85
Apabila
terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka
penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Peng-adilan.
Pasal 86
Pasal 86
(1)
Suami bertanggungjawab menjaga harta bersama,
harta isteri maupun hartanya sendiri.
(2) Isteri
turut bertanggungjawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada
padanya.
Pasal 87
Pasal 87
(1)
Harta
bersama sebagaimana tersebut dalam Pasal 83 huruf a di atas dapat berupa benda
berwujud atau tidak berwujud.
(2)
Harta
bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak ber-gerak,
benda bergerak dan surat-surat berharga.
(3)
Harta
bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak kekayaan intelektual dan hak
lainnya yang bernilai ekonomis.
(4)
Harta
bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh sa-lah
satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.
Pasal 88
Pasal 88
Suami atau
isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau
mengalihkan hak atas harta bersama.
Pasal 89
Pasal 89
(1) Pertanggungjawaban
terhadap hutang suami atau isteri dibeban-kan pada hartanya
masing-masing.
(2) Pertanggungjawaban
terhadap hutang yang dilakukan untuk ke-pentingan keluarga, dibebankan
kepada harta bersama.
(3)
Bila harta
bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.
(4)
Bila harta
suami tidak ada atau tidak mencukupi tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan
kepada harta isteri.
Pasal 90
Pasal 90
(1)
Harta
bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang,
masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
(2)
Pemilikan
harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari
seorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak berlangsungnya akad
perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.
(3)
Penghitungan
pemilikan harta bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimuat dalam putusan
Pengadilan dalam perkara permohonan izin beristeri lebih dari satu.
Pasal 91
Pasal 91
(1)
Suami atau
isteri dapat meminta Pengadilan untuk
meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan izin talak
atau gugatan cerai, apabila salah satu pihak melakukan perbuatan yang merugikan
dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, atau boros.
(2)
Selama
masa sita, dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan
keluarga dengan izin Pengadilan.
Pasal 92
Pasal 92
(1)
Dalam
hal perkawinan putus karena
kematian, seperdua harta bersama menjadi hak suami atau isteri
yang masih hidup.
(2)
Pembagian
harta bersama bagi suami atau isteri yang mafqud
di-tangguhkan sampai adanya putusan Pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap tentang mafqud-nya
isteri atau suami.
Pasal 93
Pasal 93
Janda atau duda cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama, sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan.
B A B XIV
KEDUDUKAN ANAK
Pasal 94
Pasal 94
(1)
Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan akibat
perkawinan yang sah.
(2)
Anak yang lahir sebagai hasil pembuahan suami
isteri yang sah di luar cara alami dan dilahirkan oleh isteri tersebut adalah
anak yang sah.
Pasal 95
Pasal 95
Anak yang lahir akibat perzinaan dan/atau di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 96
Pasal 96
Dalam hal perkawinan
perempuan hamil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dan Pasal 48, maka anak yang lahir dalam
waktu kurang dari 180 (seratus delapan puluh) hari terhitung
sejak akad nikah, hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga
ibunya.
Pasal 97
Pasal 97
Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang
isteri menyangkalnya, suami dapat
meneguhkan pengingkarannya dan isteri dapat meneguhkan penyangkalannya dengan
lian.
Pasal 98
Pasal 98
Pengingkaran suami terhadap
anak yang lahir dari isterinya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 diajukan ke Pengadilan.
Pasal 99
Pasal 99
(1)
Asal usul
anak dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.
(2)
Bila akta
kelahiran atau alat bukti lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ada,
maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul anak setelah
mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang sah.
(3)
Atas dasar
penetapan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi pencatat
kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan tersebut memberikan akta
kelahiran bagi anak yang bersangkutan.
B A B XV
PUTUSNYA PERKAWINAN
Pasal 100
Pasal 108
Perkawinan putus karena:
a. kematian,
b.
perceraian,
atau
c.
putusan
Pengadilan.
Pasal 101
Pasal 101
Putusnya
perkawinan yang disebabkan oleh perceraian dapat terjadi karena talak yang
diikrarkan suami atau talak berdasarkan gugatan perceraian.
Pasal 102
Pasal 102
Perceraian
dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan tersebut berusaha dan
tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Pasal 103
Pasal 103
Perceraian
dapat terjadi karena alasan sebagai berikut:
a.
salah satu
pihak berbuat zina, menjadi pemabuk, pemadat, atau penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan;
b.
salah satu
pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
dan alasan yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c.
salah satu
pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlang-sung;
d.
salah satu
pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang
lain;
e.
salah satu
pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f.
di antara
suami dan isteri terjadi perselisihan dan perteng-karan
terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup ru-kun
lagi dalam rumah tangga;
g.
suami
melanggar taklik-talak; atau
h.
suami atau
isteri keluar dari agama Islam (murtad).
Pasal 104
Pasal 113
Talak
adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan yang menja-di salah satu sebab putusnya perkawinan.
Pasal 105
Pasal 114
Talak
sebagaimana dimaksud dalam pasal 112 dapat berupa:
a.
talak raj’i,
b.
talak bain sugra dan bain kubra,
c.
talak suni (sunni),
d.
talak bid’i, dan
e.
talak khuluk.
Pasal 106
Pasal 115
Talak raj’i
adalah talak kesatu atau kedua yang suami dapat meru-juk isterinya selama idah.
Pasal 107
Pasal 116
(1) Talak bain sugra adalah talak yang tidak boleh
dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam idah.
(2) Talak bain sugra sebagaimana tersebut pada ayat
(1) adalah:
Pasal 108
Pasal 117
Talak bain kubra
adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya yang menyebabkan tidak dapat
rujuk dan tidak dapat nikah kembali, ke-cuali apabila perkawinan itu
dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi
perceraian ba’dadukhul dan habis masa idahnya.
Pasal 109
Pasal 118
Talak suni adalah talak yang dibolehkan
yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak campur
dalam waktu suci tersebut.
Pasal 110
Pasal 110
Talak bid’i adalah talak yang dilarang,
yaitu:
a. talak yang
dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid; atau
b. talak yang
dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu
suci tersebut.
Pasal 111
Pasal 120
Perceraian terjadi dan terhitung pada saat
dinyatakan di depan si-dang
Pengadilan.
Pasal 112
Pasal 121
Khuluk harus berdasarkan alasan perceraian yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 113
Pasal 122
Putusnya
perkawinan atas dasar putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108
huruf c, terjadi karena lian atau fasakh.
Pasal 114
Pasal 123
Lian
terjadi karena suami menuduh zina dan/atau mengingkari anak yang dikandung atau
yang dilahirkan oleh isterinya; sedangkan isteri menolak tuduhan dan/atau
pengingkaran suami.
Pasal 115
Pasal 124
Tata urutan lian diatur
sebagai berikut:
a.
suami
bersumpah empat kali dengan tuduhan zina dan/atau pengingkaran anak tersebut,
diikuti sumpah kelima dengan ucapan: “Laknat Allah atas diriku apabila tuduhan
dan/atau pengingkaran tersebut dusta.”;
b.
isteri
menolak tuduhan dan/atau pengingkaran tersebut de-ngan
bersumpah empat kali dengan ucapan: “Tuduhan dan /atau
pengingkaran tersebut tidak benar,” dan
diikuti sum-pah kelima dengan ucapan: “Murka Allah atas diriku bila
tu-duhan dan/atau pengingkaran tersebut benar.”;
c.
tata cara
pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d.
apabila
ketentuan pada huruf a tidak diikuti dengan keten-tuan
pada huruf b, maka lian tidak terjadi.
Pasal 116
Pasal 125
Lian
hanya sah apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan.
Pasal 117
Pasal 126
Fasakh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 dapat terjadi karena:
a.
perkawinan dilakukan tidak memenuhi salah satu syarat
dan rukun perkawinan;
b.
melanggar larangan perkawinan; atau
c.
suami atau isteri keluar dari Islam.
Pasal 118
Pasal 118
Tata cara
perceraian dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku di pengadilan.
Pasal 119
Dalam hal talak dijatuhkan tidak di depan sidang Pengadilan
maka isteri dan pihak lain yang berkepentingan dengan perkawinan dan/atau
dirugikan akibat talak tersebut berhak mengajukan gugatannya ke Pengadilan.
B A B XVI
AKIBAT PUTUSNYA PERKAWINAN
Bagian
Kesatu
Akibat Cerai Talak
Pasal 120
Pasal 128
Putusnya
perkawinan karena cerai talak mengakibatkan bekas suami wajib:
a.
memberikan
mutah yang layak berupa uang
atau benda kepa-da bekas isterinya, kecuali qabladdukhul yang
sudah ditetap-kan maharnya;
b.
memberi
nafkah, tempat kediaman, dan pakaian kepada be-kas
isteri selama dalam idah, kecuali bekas isteri telah dija-tuhi
talak bain atau nusyuz dalam keadaan tidak hamil;
c.
melunasi
seluruh mahar yang masih terhutang, dan separuh-nya
apabila qabladdukhul yang sudah
ditetapkan maharnya; dan
d.
memberikan
biaya hadanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun.
Pasal 121
Pasal 129
Bekas
suami berhak melakukan rujuk dengan bekas isterinya yang masih dalam idah raj’i.
Pasal 122
Pasal 130
Bekas
isteri selama idah wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan, dan tidak
menikah dengan laki-laki lain.
Bagian Kedua
Waktu Tunggu
Pasal 123
Pasal 131
(1) Waktu
tunggu atau idah berlaku bagi janda yang perkawinannya putus kecuali perceraian qabladdukhul.
(2)
Waktu
tunggu janda ditentukan sebagai berikut:
a.
apabila
perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga
puluh) hari terhitung sejak kematian suami;
b.
apabila
perkawinan putus karena perceraian dan putusan Pengadilan, waktu tunggu janda
yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 9
(sembilan puluh) hari, dan janda yang tidak haid ditetapkan 90 (sem-bilan puluh) hari; terhitung sejak:
2)
putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap dalam hal perkawinan putus karena
cerai gugat dan kare-na putusan Pengadilan;
c.
apabila perkawinan putus karena perceraian atau karena
kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai kelahiran anaknya.
(3)
Waktu
tunggu bagi isteri yang masih dalam usia haid sedang pada waktu menjalani idah
tidak haid karena menyusui, maka idahnya tiga bulan (90 hari).
(4)
Dalam hal
janda yang masih usia haid menjalani idah tidak haid bukan karena menyusui,
maka idahnya satu tahun, akan tetapi bila ia berhaid kembali dalam waktu
tersebut, maka idahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 124
Pasal 132
Apabila
bekas suami meninggal dalam waktu idah talak raj’i sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) huruf b, ayat (3)
dan ayat (4), maka idah janda berubah menjadi 4 (empat) bulan 10
(sepuluh) hari terhitung sejak kematian bekas suami.
Bagian
Ketiga
Harta
Bersama Akibat Perceraian
Pasal 125
Pasal 136
Harta bersama dibagi menurut
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 dan Pasal 93.
Bagian
Keempat
Akibat
khuluk
Pasal 126
Pasal 126
Perceraian
dengan talak khuluk mengurangi
jumlah talak dan tidak dapat dirujuk.
Bagian Kelima
Akibat lian
Pasal 127
Pasal 136
(1) Apabila lian terjadi maka perkawinan putus untuk
selamanya.
(2) Status anak yang lahir dari perkawinan yang putus karena
lian dinasabkan kepada ibunya sedang suami terbebas dari kewajiban memberi
nafkah.
(3) Dalam hal dapat dibuktikan bahwa anak tersebut adalah
anak ayahnya, maka ia dinasabkan kepada ayahnya dan nafkahnya menjadi kewajiban
ayahnya.
B A B XVII
PEMELIHARAAN ANAK (HADANAH)
Pasal 128
Pasal 100
Dalam
hal terjadinya perceraian:
a.
hak
pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun dipegang oleh
ibunya, kecuali untuk ke-pentingan anak, pengadilan memutuskan lain;
b.
apabila
ibu anak sebagaimana dimaksud pada huruf a me-ninggal
dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1) perempuan dalam garis lurus dari ibu,
2) ayah,
3) perempuan dalam garis lurus ke atas dari ayah,
4) saudara
perempuan anak yang bersangkutan,
5) perempuan
kerabat sedarah menurut garis ke samping dari ibu, atau
6) perempuan
kerabat sedarah menurut garis ke samping dari
ayah.
Pasal 129
Pasal 129
(1)
Biaya
pemeliharaan anak dibebankan kepada ayahnya, dan apa-bila ayahnya telah meninggal
dunia, biaya pemeliharaan ditang-gung
oleh ahli waris atau kerabat ayahnya.
(2)
Dalam hal
ahli waris atau kerabat ayahnya sebagaimana disebut pada ayat (1) tidak ada,
biaya pemeliharaan dibebankan kepada ibunya atau kerabat ibunya.
Pasal 130
Pasal 102
(1)
Ayah
menurut kemampuannya menanggung biaya hadanah
se-kurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa atau sudah berumur 21 tahun dan
dapat mengurus diri sendiri.
(2)
Pengadilan
dapat pula menetapkan jumlah biaya untuk peme-liharaan dan pendidikan anak yang
tidak ikut pada ayahnya ber-dasarkan kemampuannya.
Pasal 131
Pasal 131
(1)
anak yang
sudah mumayiz berhak memilih hadanah
dari ayah atau ibunya.
(2)
apabila
pemegang hadanah tidak dapat
menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak meskipun telah memberikan biaya
naf-kah dan hadanahnya secara
cukup maka atas permintaan kera-bat yang bersangkutan Pengadilan dapat
menggantinya dengan pemegang hak hadanah
lainnya.
Pasal 132
Pasal 132
Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak, Pengadilan memberikan putusannya
berdasarkan Pasal 100, Pasal 101, Pasal 102, dan Pasal 103.
B A B XVIII
PERWALIAN
Pasal 133
Pasal 133
(1) Perwalian
hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun dan/atau belum pernah melangsungkan
perkawinan.
(2) Perwalian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi
perwali-an atas diri
dan harta kekayaan anak.
(3) Bila wali
tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya maka atas
permohonan kerabat yang lain, Peng-adilan
dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali.
(4) Wali
diutamakan dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang muslim, dewasa,
berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkela-kuan baik; atau badan hukum.
Pasal 134
Pasal 134
Orangtua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau
badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak/anak-anaknya sesudah ia
meninggal dunia.
Pasal 135
Pasal 104
Pengadilan dapat mencabut hak perwalian seseorang
atau badan hukum dan memindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabat
anak bila pemegang
hak perwalian tersebut pemabuk, pen-judi, pemboros, gila dan/atau
melalaikan,
atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali, demi kepentingan terbaik
bagi anak yang berada di bawah perwalian.
Pasal 136
Pasal 105
(1) Wali
berkewajiban mengurus diri dan harta anak yang berada di bawah perwaliannya
dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan,
dan keterampilan la-innya
untuk masa depannya.
(2) Wali
dilarang mengikatkan, membebani, dan mengasingkan harta anak yang berada di
bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan anak atau
merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan.
(3) Wali
bertanggungjawab terhadap harta anak yang berada di ba-wah perwaliannya, dan mengganti
kerugian yang timbul seba-gai
akibat kesalahan atau kelalaiannya.
(4) Wali wajib
membuat daftar harta benda anak yang berada di ba-wah perwaliannya pada waktu
memulai jabatannya dan mencatat semua keterangan mengenai perubahan yang
terjadi atas harta benda anak/anak-anak
itu.
(5) Pertanggungjawaban
wali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuktikan dengan pembukuan yang
ditutup tiap satu tahun sekali.
Pasal 137
Pasal 106
(1) Wali
berkewajiban menyerahkan seluruh harta anak yang berada di bawah perwaliannya,
bila yang bersangkutan telah mencapai umur
18 tahun atau telah kawin.
(2) Dalam hal
anak telah mampu mengurus diri dan hartanya walau-pun belum mencapai umur 18 tahun,
maka atas permintaan a-nak
yang bersangkutan, wali dapat melepaskan hak perwali-annya.
(3) Pengadilan
berwenang mengadili perselisihan antara wali dan a-nak yang berada di bawah
perwaliannya tentang harta yang dise-rahkan kepadanya.
Pasal 138
Pasal 107
Wali dapat mempergunakan harta anak yang berada di
bawah per-waliannya,
sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau cara
yang makruf
apabila wali itu fakir.
B A
B XIX
RUJUK
Pasal 139
Pasal 137
(1)
Bekas
suami dapat merujuk bekas isterinya dalam idah talak raj’i.
(2)
Bekas
isteri dalam idah talak raj’i
berhak menyatakan keberatan atas kehendak rujuk bekas suaminya.
(3)
Rujuk
suami dan/atau keberatan isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) hanya
dapat dilakukan di hadapan Pejabat Pencatat Nikah dan disaksikan
oleh 2 (dua) orang saksi.
(4)
Pejabat
Pencatat Nikah hanya dapat mencatat rujuknya suami apabila memperoleh
persetujuan isteri.
Pasal 140
Pasal 138
Rujuk
harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku
Pencatatan Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga
tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya dari
Kantor Urus-an Agama Kecamatan yang mencatat peristiwa rujuknya.
Pasal 141
Pasal 139
Tata cara rujuk dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-un-dangan.
B A
B XX
PERKAWINAN
CAMPURAN
Pasal 142
Pasal 140
(1) Pelaksanaan perkawinan di Indonesia
antara pasangan warga negara asing dan warga negara Indonesia
berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 26.
(2) Calon suami atau isteri yang berkewarganegaraan asing harus mendapatkan izin tertulis dari negara asalnya berdasarkan bukti
dari kedutaan Negara yang bersangkutan.
(3) Calon suami yang berkewarganegaraan asing telah membayar u-ang jaminan kepada calon isteri melalui bank syariah
di Indo-nesia sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
B A
B XXI
KETENTUAN
PIDANA
Pasal 143
Pasal 141
Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan
Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp.
6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam)
bulan.
Pasal 144
Pasal 142
Setiap orang yang melakukan perkawinan mutah sebagaimana
dimaksud Pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun, dan
perkawinannya batal karena hukum.
Pasal 145
Pasal 143
Setiap orang yang melangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga atau
keempat tanpa mendapat izin terlebih dahulu dari Pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.
6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam)bulan.
Pasal 146
Pasal 144
Setiap orang yang menceraikan isterinya tidak di depan sidang Pengadilan
sebagaimana dalam Pasal 110 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.
6.000.000 (enam juta rupiah) atau hukum-an
kurungan paling lama 6 (enam)bulan.
Pasal 147
Pasal 145
Setiap
orang yang melakukan perzinaan dengan seorang perempuan yang belum kawin
sehingga menyebabkan perempuan tersebut hamil sedang ia menolak mengawininya
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
Pasal 148
Pasal 146
Pejabat Pencatat Nikah yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda
paling banyak Rp. 12.000.000.,- (dua belas juta rupiah).
Pasal 149
Pasal 147
Setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai Pejabat
Pencatat Nikah dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal
21 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Pasal 150
Pasal 148
Setiap orang yang tidak berhak
sebagai wali nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan dengan sengaja
bertindak sebagai wali nikah dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun.
Pasal 151
Pasal 149
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, Pasal 142, Pasal 143,
dan Pasal 145 merupakan tindak pidana pelanggaran, dan tindak
pidana yang dimaksud dalam Pasal 141,
Pasal 144, Pasal 146, dan Pasal 147 adalah tindak pidana kejahatan.
B A B XXII
KETENTUAN LAIN
Pasal 152
Pasal 150
Perkara pidana yang terjadi
sebagai akibat pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141, Pasal 143,
Pasal 144, dan Pasal
146 dan/atau
kejahatan sebagaimana dimaksud Pasal 142, Pasal 145, Pasal 147, dan Pasal 148 Undang-Undang ini diperiksa
dan diputus oleh Pengadilan setelah
Pengadilan menerima perkara tersebut dari Kejaksaan Negeri setempat.
Pasal 153
Pasal 151
Kepolisian dan Kejaksaan Negeri melakukan penyelidikan,
penyi-dikan,
dan penuntutan perkara pidana tersebut dalam Pasal 141 sampai Pasal 148 setelah
menerima laporan dari masyarakat atau dari pihak-pihak yang berkepentingan.
B A B XXIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 154
Pasal 152
Pada saat
Undang-Undang ini berlaku:
(1)
Perkawinan
yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini wajib
diajukan permohonan isbat ke Pengadilan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun
setelah Undang-undang ini berlaku.
(2)
Tindak
pidana perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang- Undang ini yang belum
diajukan ke Pengadilan Negeri maka perkaranya dilimpahkan ke Pengadilan Agama.
B A B XXIV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 155
Pasal 153
Hukum Acara yang berlaku pada
Pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara pidana yang dimaksud dalam Pasal
150 Undang-Undang ini adalah Hukum Acara Pidana yang berlaku pada Peng-adilan dalam lingkungan
Peradilan Umum.
Pasal 156
Pasal 155
Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengun-dangan
Undang-Undang ini dalam Lembaran Negara Republik Indo-nesia.
Disahkan
di Jakarta
pada
tanggal
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar