Powered By Blogger

SETUJUKAH GUBERNUR KE BAWAH DIPILIH DPRD

belajar sadar diri terhadap aturan hukum Tuhan m,aupun Negara

Kamis, 22 Maret 2012

KESEHATAN

susahnya menjadi orang sadar hukum!tapi enak jika sadar itu

politik

susahnya menjadi orang sadar hukum!tapi enak jika sadar itu

rendah

Lawan rendah hati adalah sifat sombong. Tentang kesombongan, ditegaskan oleh Allah SWT dalam sebuah hadits qudsi :


الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِ، وَالْعَظَمَةُ ِإزَاِريْ، فَمَنْ نَازَعَنِيْ ِفيْهِمَا قَََصَمْـتُهُ وَلاَ أُبَالِيْ

Kesombongan adalah selendang-Ku, keagungan adalah sarung-Ku. Siapa melepaskan kedua pakaian itu dari-Ku, maka Aku akan membinasakannya dan tidak akan Aku berikan rahmat kepadanya. (HR Muslim)

Syaikh az-Zarnuji memberi nasihat kepada kita agar menjauhi sifat sombong dalam sebuah syair yang tercantum dalam kitab karya beliau, yaitu “Ta‘lîm al-Muta‘allim” :


وَالْكِبْرِيَاءُ لِرَبِّـنَا صِـفَةٌ بِهِ * مَخْصُوْصَةٌ فَتَجَـنَّبْـنَهَا وَاتَّقِى

Kesombongan adalah satu sifat yang dimiliki Tuhan kita
Maka jauhilah sifat itu dan takutlah ( jagalah) dirimu

Mengapa terkadang bahkan seringkali kita sombong? Kenapa setan berhasil menanamkan sifat itu pada diri kita? Biasanya kita akan menyombongkan diri karena kelebihan yang kita miliki. Namun, adakalanya kita bersikap sombong justru untuk menutupi kekurangan kita. Banyak orang berkata,


“Sudah miskin, sombong pula.”
“Tak punya ilmu tapi lagaknya seperti ahli hadits.”
“Air beriak tanda tak dalam.”
“Tong kosong memang berbunyi nyaring.”

Banyak lagi ungkapan yang menunjukkan kesombongan. Kesombongan sebenarnya tak mempunyai kelebihan sedikit pun. Satu-satunya kelebihan yang dimiliki hanyalah sifat sombong itu sendiri. Dan, sungguh, itu sebuah kerugian.

Berikut ini penulis uraikan hal-hal yang bisa membuat diri kita menjadi sombong. Dengan mengetahuinya, maka kita bisa memohon kepada Allah agar terhindar dari sifat ini. Semoga Allah menjauhkan diri kita dari sifat sombong dan memelihara kita dengan sifat tawadhu‘, amin.

a. Harta

Harta bisa menjadikan diri kita merasa bangga yang berlebihan terhadap diri sendiri. Harta juga yang membuat kita pamer kepada orang lain, khususnya kepada orang yang tidak sekaya kita, apalagi terhadap orang-orang miskin.


Mungkin kita akan berkata, “Saya berhak sombong karena harta saya melimpah-ruah. Kekayaan saya dimakan 7 (tujuh) turunan juga tidak akan habis. Mulai dari anak, putu (bahasa Jawa, artinya cucu), buyut (cicit), canggah (piut), wareng (anggas), udeg-udeg (piut-miut) dan gantung siwur (keturunan ketujuh).”


Dalam Al-Qur’an al-Karim, Allah membuat perumpamaan orang sombong karena kekayaan kebun yang dimiliki.


Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang.


Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu,


dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia, “Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.”
(QS al-Kahfi [18] : 32-34)


Pertanyaannya adalah, “Apakah kita memang berhak sombong karena harta segunung?”

Ada sebuah kisah yang akan mengingatkan kita bahwa harta kekayaan yang kita miliki nilainya sangat sedikit. Pada suatu malam Khalifah Harun ar-Rasyid sedang gelisah, kemudian beliau meminta pengawalnya untuk mengundang seorang ulama ahli hikmah. Sesampai di istana, ulama tersebut disuguhi hidangan dan minuman air putih. Singkat cerita, terjadilah percakapan antara khalifah dengan sang ulama. Harun berkata,


“Kyai, saat ini saya sedang gelisah. Mohon nasihat dari Kyai agar pikiran saya tenang, hati pun tidak resah. Saya ingin mengaji.”


“Baginda, sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas jamuan ini. Kalau boleh, saya ingin bertanya,” kata sang ulama.

“Silakan, Kyai.”

“Begini, Baginda. Harga segelas air putih ini berapa ya?”


“Saya kira mau bertanya apa, Kyai. Harga segelas air putih itu murah sekali, hanya beberapa dirham. Kalau Kyai mau, nanti saya kirim berbotol-botol ke rumah Kyai. Bila perlu, sebanyak air di kolam istana.”

Sang ulama tersenyum tulus mendengar tawaran Harun ar-Rasyid. Baginya, senyum adalah ibadah, sebagaimana dicontohkan sang teladan mulia, Nabi Muhammad saw. Selanjutnya, ulama itu pun menjawab,

“Terima kasih atas kemurahan hati, Baginda. Kalau diperkenankan saya ingin bertanya lagi. Misalnya saja musim ini musim kemarau yang sangat panjang, sehingga kerajaan ini dan kerajaan-kerajaan lain kekeringan—hanya tersisa satu gelas air ini saja yang bisa diminum. Kira-kira, Baginda mau membeli segelas air ini dengan harga berapa?” lanjut sang ulama.

Suasana hening sejenak. Harun ar-Rasyid mengerutkan keningnya untuk memikirkan jawaban atas pertanyaan sang ulama—pertanyaan yang baginya sungguh aneh. Namun, dia percaya tidak mungkin sang ulama akan sembarangan bertanya, pasti ada hikmah di balik itu semua. Lalu sang Khalifah pun menjawab dengan mantap,

“Kyai, kalau memang itu terjadi, maka berdasarkan fiqh bahwa mempertahankan hidup hukumnya wajib, saya akan membeli segelas air putih itu dengan seluruh kerajaan saya beserta isinya. Harta bisa dicari Kyai, asalkan kita masih hidup.”

Sang ulama mengangguk pelan tanpa suara, menunjukkan dia benar-benar mengerti bahwa Harun bersungguh-sungguh dengan jawabannya. Dengan suara yang begitu tenang dan lembut, sang ulama melanjutkan nasihatnya,

“Begitu ya, Baginda. Kalau memang itu yang akan Baginda lakukan; maka ingatlah, ternyata seluruh harta kekayaan Baginda—kerajaaan beserta isinya—hanya seharga segelas air putih ini. Betapa Allah Maha Kaya, sedangkan kita makhluk yang fakir.”

Suasana kembali hening, kali ini lebih lama dari sebelumnya. Tiba-tiba, air mata menetes membasahi pipi Khalifah Harun ar-Rasyid. Sambil menangis, sang Khalifah berkata ,

“Kyai... Terima kasih atas nasihat bijaknya.”

Kisah di atas juga tercantum di buku tulisan Dr. ‘Aidh al-Qarni yang berjudul “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, dengan versi yang berbeda namun intinya sama. Wallâhu a‘lam bish-shawâb. Seorang ulama bertanya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid,


“Jika engkau tidak diizinkan Allah untuk meminum seteguk air-Nya, dapatkah kiranya engkau menebusnya dengan kekayaan dari kerajaanmu?”

“Demi Allah, tidak!” jawab Harun.

“Wahai Harun, dapatkah engkau menebus air yang telah engkau keluarkan dengan setengah perbendaharan kerajaanmu?”

Maksud air yang telah dikeluarkan adalah keringat, air seni dan sejenisnya. Bila Harun ar-Rasyid tidak bisa berkeringat, buang air kecil dan meneteskan air mata, apakah bisa ditukar dengan setengah perbendarahaan kerajaannya? Mendengar pertanyaan itu, Harun sadar bahwa apa yang dia miliki hanya sedikit saja. Dengan keyakinan mantap, Harun menjawab,

“Tidak, demi Allah. Kerajaan yang nilainya tidak lebih banyak dari seteguk air, bukanlah kerajaan yang sesungguhnya.”

Dari cerita tersebut, tidakkah kita sadar bahwa kita ini fakir? Apakah layak kalau kita sombong karena harta yang kita miliki?

Barangkali kita akan berkilah, “Ah, itu kan misalnya, hanya sebuah cerita; kalau musim kemarau berkepanjangan sehingga semua negara kekeringan. Itu dogma, tidak akan terjadi, apalagi di Indonesia. Di negara kita, air melimpah, banyak perusahaan AMDK (Air Minum Dalam Kemasan), bahkan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) pun masih aman-aman saja.”

Kalau memang itu argumentasi kita, apakah kita tidak tahu bahwa Allah Maha Kuasa (Al-Qâdir) untuk mengembalikan kita seperti bayi lagi yang tidak punya harta sesen pun, dan itu bisa terjadi dalam hitungan detik sebagaimana Qarun dan seluruh hartanya? Tidak ingatkah kita bagaimana tsunami di Aceh telah meluluh-lantakkan semua bangunan? Apa kita lupa bagaimana gempa yang terjadi di nusantara serta belahan lain bumi ini telah meratakan semua rumah dan gedung? Harta yang kita kumpulkan bertahun-tahun, langsung lenyap dalam sekejap.


Mungkin kita masih menampik fakta tersebut dengan berkata, “Itu kan memang daerah rawan. Rumah saya di daerah aman, tidak akan ada tsunami atau gempa. Jadi tidak perlu kuatir.”

Kalau memang itu dalil kita, lupakah kita bahwa setiap musim liburan/lebaran, ada saja rumah, kompleks pertokoan atau pasar yang terbakar; dengan penyebab klasik, yaitu listrik korslet (hubungan arus singkat)? Padahal sudah ada pengaman listrik seperti sekering dan MCB (Mini Circuit Breaker)? Bukankah sudah kita lihat bersama-sama bagaimana banjir melanda berbagai wilayah negeri ini termasuk kota besar seperti Jakarta? Dalih apa lagi yang akan kita ajukan?

Bermegah-megahan dalam harta dan segala yang bersifat kebendaan bisa melalaikan kita akan pertemuan yang pasti di hari yang dijanjikan. Terlalu sibuk dalam sarana dan melupakan tujuan utama adalah suatu kebangkrutan. Bermegah-megahan dalam harta berarti usaha memperkaya diri dengan mengumpulkan dan menimbun kekayaan materi untuk dinikmati, tetapi tidak dinafkahkan sesuai hak dan kewajiban. Dengan demikian, itu justru berarti kemelaratan yang menyibukkan. Umur habis untuk mencari tetapi hakikatnya tanpa hasil.

Siapa yang mendahulukan bentuk daripada isi, mendahulukan kulit luar daripada niat dan tujuan utama, mendahulukan dunia daripada akhirat, dan mendahulukan makhluk daripada Khaliq adalah seorang hamba yang sesat jalan dan buruk nasibnya di akhirat kelak.

Sudah lupakah kita bahwa seluruh nikmat yang kita terima adalah anugerah Allah? Apakah kita mengira bahwa nikmat itu akan kekal selamanya? Apakah kita tidak memperhatikan firman Allah bahwa yang berhak sombong hanyalah Beliau Yang Maha Memiliki Kebesaran (Al-Mutakabbir)? Kalau kita mengenakan pakaian kesombongan, bukankah itu berarti kita menantang Allah? Tidakkah itu mengandung maksud bahwa kita memproklamirkan diri sebagai tuhan? Kalau sudah begitu, siapakah yang sanggup melawan Allah, Penguasa Alam Semesta (Mâlik Al-Mulk), Raja Diraja (Al-Malik) dengan semua ke-Mahagagahan dan ke-Mahaperkasaan-Nya? Wal ‘iyâdzu billâh.

Rasulullah Muhammad saw. bersabda :


لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْـقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ

Tidaklah masuk surga seseorang yang di hatinya terdapat kesombongan sebesar dzarrah (atom). (HR Bukhari)

Menyadari kefakiran kita, marilah kita bersama-sama bermunajat kepada Allah :


اللَّهُمَّ لاَمَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ رَاۤدَّ لِمَا قَضَيْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَالْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ

Ya Allah, tiada yang dapat mencegah apa yang Engkau anugerahkan, tiada juga yang memberi apa yang Engkau cegah, tiada pula yang dapat menolak apa yang Engkau tetapkan. Tidak berguna dan tidak pula dapat menyelamatkan seseorang dari kekayaan, kedudukan, anak, pengikut dan kekuasaannya. Yang menyelamatkan dan berguna baginya hanyalah anugerah dan rahmat-Mu.

Daftar Pustaka :

  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Nikmatnya Hidangan Al-Qur’an (‘Alâ Mâidati Al-Qur’an)”, Maghfirah Pustaka, Cetakan Kedua : Januari 2006
  • ‘Aidh al-Qarni, Dr, “Sentuhan Spiritual ‘Aidh al-Qarni (Al-Misk wal-‘Anbar fi Khuthabil-Mimbar)”, Penerbit Al Qalam, Cetakan Pertama : Jumadil Akhir 1427 H/Juli 2006
  • Az-Zarnuji, asy-Syaikh, “Ta‘lîm al-Muta‘allim”
  • M. Quraish Shihab, Dr, “‘Menyingkap’ Tabir Ilahi – Al-Asmâ’ al-Husnâ dalam Perspektif Al-Qur’an”, Penerbit Lentera Hati, Cetakan VIII : Jumadil Awal 1427 H/September 2006
  • Sa‘id Hawwa, asy-Syaikh, “Kajian Lengkap Penyucian Jiwa “Tazkiyatun Nafs” (Al-Mustakhlash fi Tazkiyatil Anfus) – Intisari Ihya ‘Ulumuddin”, Pena Pundi Aksara, Cetakan IV : November 2006
  • http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php

Tulisan ini berlanjut ke : Apa Kita Terjangkit Penyakit Sombong? (2 of 12)


#Semoga Allah menyatukan dan melembutkan hati semua umat Islam, amin…#

faisol

9 komentar:

Hamba Allah mengatakan...

Terima kasih kerana post yg ini. Boleh saya buat penyalinan yg sama ke blog saya untuk pengetahuan kepada saudara2 lain?

6 Maret 2009 01.13

faisol mengatakan...

terima kasih juga saya haturkan... monggo2 saja... semoga bisa menjadi ilmu yg bermanfaat & Multi Level Pahal (MLP) bg kita semua, amin...

6 Maret 2009 07.57

Nanang mengatakan...

Assalamualaikum mas Faisol,
Luar biasa tulisan mas faisol ini, berpengetahuan luas, detail dalam penjabaran, dan menyejukkan hati. Saya baru membaca beberapa

Senin, 19 Maret 2012

UUPAN.50TAHUN2009

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 TAHUN 2009 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu
diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan
berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam
masyarakat;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan
ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud pada huruf a dan huruf b perlu membentuk
Undang-Undang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3316) sebagaimana diubah
terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor
4958);
3. Undang-Undang . . .













- 2 -
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4611);
4. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG
PERADILAN AGAMA.

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3400) sebagaimana yang telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4611), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 1 . . .













- 3 -
Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang
yang beragama Islam.
2. Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan
tinggi agama di lingkungan peradilan agama.
3. Hakim adalah hakim pada pengadilan agama dan
hakim pada pengadilan tinggi agama.
4. Pegawai Pencatat Nikah adalah pegawai pencatat
nikah pada kantor urusan agama.
5. Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru
sita dan/atau juru sita pengganti pada pengadilan
agama.
6. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
7. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang
mempunyai kewenangan untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tertentu yang
hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung yang diatur dalam undang-undang.
9. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara
yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang
tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam
undang-undang.

2. Ketentuan Pasal 3A diubah sehingga Pasal 3A berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 3A
(1) Di lingkungan peradilan agama dapat dibentuk
pengadilan khusus yang diatur dengan undang-
undang.
(2) Peradilan . . .













- 4 -
(2) Peradilan Syari’ah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan agama sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan
agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan umum sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan
umum.
(3) Pada pengadilan khusus dapat diangkat hakim ad
hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara, yang membutuhkan keahlian dan
pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam
jangka waktu tertentu.
(4) Ketentuan mengenai syarat, tata cara pengangkatan,
dan pemberhentian serta tunjangan hakim ad hoc
diatur dalam peraturan perundang-undangan.

3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 6 (enam) pasal,
yakni Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 12D, Pasal
12E, dan Pasal 12F yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12A
(1) Pengawasan internal atas tingkah laku hakim
dilakukan oleh Mahkamah Agung.
(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, pengawasan eksternal atas perilaku hakim
dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Pasal 12B
(1) Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian
tidak tercela, jujur, adil, profesional, bertakwa, dan
berakhlak mulia, serta berpengalaman di bidang
hukum.
(2) Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.


Pasal 12C . . .













- 5 -
Pasal 12C
(1) Dalam melakukan pengawasan hakim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, Komisi Yudisial
melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung.
(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil
pengawasan internal yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung dan hasil pengawasan eksternal
yang dilakukan oleh Komisi Yudisial, pemeriksaan
dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial.

Pasal 12D
(1) Dalam melaksanakan pengawasan eksternal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12A ayat (2),
Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan
pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial berwenang:
a. menerima dan menindaklanjuti pengaduan
masyarakat dan/atau informasi tentang
dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim;
b. memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran
atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;
c. dapat menghadiri persidangan di pengadilan;
d. menerima dan menindaklanjuti pengaduan
Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan
di bawah Mahkamah Agung atas dugaan
pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim;
e. melakukan verifikasi terhadap pengaduan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan
huruf d;
f. meminta keterangan atau data kepada
Mahkamah Agung dan/atau pengadilan;
g. melakukan . . .













- 6 -
g. melakukan pemanggilan dan meminta
keterangan dari hakim yang diduga melanggar
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk
kepentingan pemeriksaan; dan/atau
h. menetapkan keputusan berdasarkan hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam
huruf b.

Pasal 12E
(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12A, Komisi Yudisial
dan/atau Mahkamah Agung wajib:
a. menaati norma dan peraturan perundang-
undangan;
b. menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim; dan
c. menjaga kerahasiaan keterangan atau
informasi yang diperoleh.
(2) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.
(4) Ketentuan mengenai pengawasan eksternal dan
pengawasan internal hakim diatur dalam undang-
undang.

Pasal 12F
Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial
dapat menganalisis putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar
rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.

4. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 13 . . .













- 7 -
Pasal 13
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim pengadilan
agama, seseorang harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
f. lulus pendidikan hakim;
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk
menjalankan tugas dan kewajiban;
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak
tercela;
i. berusia paling rendah 25 (dua puluh lima)
tahun dan paling tinggi 40 (empat puluh)
tahun; dan
j. tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena
melakukan kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua atau wakil
ketua pengadilan agama, hakim harus
berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahun
sebagai hakim pengadilan agama.

5. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 13A dan Pasal 13B yang berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 13A
(1) Pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan
melalui proses seleksi yang transparan, akuntabel,
dan partisipatif.
(2) Proses . . .













- 8 -
(2) Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan
agama dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi
diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Pasal 13B
(1) Untuk dapat diangkat sebagai hakim ad hoc,
seseorang harus memenuhi syarat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), kecuali huruf e
dan huruf f.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf c tetap berlaku kecuali undang-
undang menentukan lain.
(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan ayat (1) diatur
dalam peraturan perundang-undangan.

6. Ketentuan Pasal 14 ayat (1) diubah sehingga Pasal 14
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi hakim pengadilan
tinggi agama, seorang hakim harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
huruf g, dan huruf j;
b. berumur paling rendah 40 (empat puluh)
tahun;
c. berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun
sebagai ketua, wakil ketua, pengadilan agama,
atau 15 (lima belas) tahun sebagai hakim
pengadilan agama;
d. lulus eksaminasi yang dilakukan oleh
Mahkamah Agung; dan
e. tidak . . .













- 9 -
e. tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian
sementara akibat melakukan pelanggaran Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi ketua pengadilan
tinggi agama harus berpengalaman paling singkat 5
(lima) tahun sebagai hakim pengadilan tinggi agama
atau 3 (tiga) tahun bagi hakim pengadilan tinggi
agama yang pernah menjabat ketua pengadilan
agama.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi wakil ketua
pengadilan tinggi agama harus berpengalaman
paling singkat 4 (empat) tahun sebagai hakim
pengadilan tinggi agama atau 2 (dua) tahun bagi
hakim pengadilan tinggi agama yang pernah
menjabat ketua pengadilan agama.

7. Ketentuan Pasal 15 ayat (1) diubah dan di antara ayat (1)
dan ayat (2) disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (1a) dan
ayat (1b) sehingga Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15
(1) Hakim pengadilan diangkat oleh Presiden atas usul
Ketua Mahkamah Agung.
(1a) Hakim pengadilan diberhentikan oleh Presiden atas
usul Ketua Mahkamah Agung dan/atau Komisi
Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung.
(1b) Usul pemberhentian hakim yang dilakukan oleh
Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat
(1a) hanya dapat dilakukan apabila hakim yang
bersangkutan melanggar Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim.
(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

8. Ketentuan Pasal 18 ayat (1) diubah sehingga Pasal 18
berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18 . . .













- 10 -
Pasal 18
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
karena:
a. atas permintaan sendiri secara tertulis;
b. sakit jasmani ata u rohani secara terus-
menerus;
c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi
ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan
agama, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi
ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan
tinggi agama; atau
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan
tugasnya.
(2) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan yang
meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.

9. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga Pasal 19 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 19
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan
diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya
dengan alasan:
a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan
tugas pekerjaannya terus-menerus selama 3
(tiga) bulan;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17; dan/atau
f. melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim.
(2) Usul . . .













- 11 -
(2) Usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a diajukan oleh Ketua Mahkamah
Agung kepada Presiden.
(3) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh
Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.
(4) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan
huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung.
(5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh Komisi
Yudisial.
(6) Sebelum Mahkamah Agung dan/atau Komisi
Yudisial mengajukan usul pemberhentian karena
alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5), hakim pengadilan mempunyai hak
untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan
Hakim.
(7) Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud
pada ayat (6) diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

10. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga Pasal 20 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 20
Dalam hal ketua atau wakil ketua pengadilan
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena atas
permintaan sendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a, tidak dengan sendirinya
diberhentikan sebagai hakim.

11. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 21 disisipkan 1 (satu)
ayat, yakni ayat (1a) yang berbunyi sebagai berikut:



Pasal 21 . . .













- 12 -
Pasal 21
(1) Ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan sebelum
diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b, huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf f dapat diberhentikan
sementara dari jabatannya oleh Ketua Mahkamah
Agung.
(1a) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Komisi Yudisial.
(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku juga ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2).
(3) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

12. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga Pasal 24 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 24
(1) Kedudukan protokol hakim pengadilan diatur
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim
pengadilan berhak memperoleh gaji pokok,
tunjangan, biaya dinas, pensiun dan hak-hak
lainnya.
(3) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
berupa:
a. tunjangan jabatan; dan
b. tunjangan lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
(4) Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) berupa:
a. rumah jabatan milik negara;
b. jaminan kesehatan; dan
c. sarana transportasi milik negara.
(5) Hakim . . .













- 13 -
(5) Hakim pengadilan diberi jaminan keamanan dalam
melaksanakan tugasnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok,
tunjangan, dan hak-hak lainnya beserta jaminan
keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim
pengadilan diatur dengan peraturan perundang-
undangan.

13. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga Pasal 27 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 27
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam,
atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai
wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda
pengadilan agama, atau menjabat wakil panitera
pengadilan tinggi agama; dan
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk
menjalankan tugas dan kewajiban.

14. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga Pasal 30 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi wakil panitera pengadilan
tinggi agama, seorang calon harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf
a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g;
b. dihapus . . .













- 14 -
b. dihapus.
c. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai
panitera muda pengadilan tinggi agama, 5 (lima)
tahun sebagai panitera muda pengadilan tinggi
agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai wakil panitera
pengadilan agama, atau menjabat sebagai panitera
pengadilan agama.

15. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga Pasal 35 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 35
Panitera tidak boleh merangkap menjadi:
a. wali;
b. pengampu;
c. advokat; dan/atau
d. pejabat peradilan yang lain.

16. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 2 (dua) pasal,
yakni Pasal 38A dan Pasal 38B yang berbunyi sebagai
berikut:

Pasal 38A
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera
pengganti pengadilan diberhentikan dengan hormat
dengan alasan:
a. meninggal dunia;
b. atas permintaan sendiri secara tertulis;
c. sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus;
d. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi panitera,
wakil panitera, panitera muda, dan panitera
pengganti pengadilan agama;
e. telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi
panitera, wakil panitera, panitera muda, dan
panitera pengganti pengadilan tinggi agama;
dan/atau
f. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.

Pasal 38B . . .













- 15 -
Pasal 38B
Panitera, wakil panitera, panitera muda, dan panitera
pengganti pengadilan diberhentikan tidak dengan hormat
dengan alasan:
a. dipidana penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya terus menerus selama 3 (tiga) bulan;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35; dan/atau
f. melanggar kode etik panitera.

17. Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga Pasal 39 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 39
(1) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita, seorang
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah pendidikan menengah;
f. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun
sebagai juru sita pengganti; dan
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk
menjalankan tugas dan kewajiban.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi juru sita pengganti,
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai
berikut:
a. syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g; dan
b. berpengalaman . . .













- 16 -
b. berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun
sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama.

18. Ketentuan Pasal 44 dihapus.

19. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga Pasal 45 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 45
Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris dan wakil
sekretaris pengadilan agama, seorang calon harus
memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
d. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. berijazah sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam,
sarjana hukum yang menguasai hukum Islam, atau
sarjana administrasi;
f. berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun di
bidang administrasi peradilan; dan
g. mampu secara rohani dan jasmani untuk
menjalankan tugas dan kewajiban.

20. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga Pasal 46 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 46
Untuk dapat diangkat menjadi sekretaris dan wakil
sekretaris pengadilan tinggi agama, seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan
huruf g; dan
b. berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun di
bidang administrasi peradilan.

21. Ketentuan . . .













- 17 -

21. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga Pasal 53 berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 53
(1) Ketua pengadilan melakukan pengawasan atas
pelaksanaan tugas hakim.
(2) Ketua pengadilan selain melakukan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
mengadakan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas dan perilaku panitera, sekretaris, dan juru sita
di daerah hukumnya.
(3) Selain tugas melakukan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ketua
pengadilan tinggi agama di daerah hukumnya
melakukan pengawasan terhadap jalannya peradilan
di tingkat pengadilan agama dan menjaga agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan
sewajarnya.
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ketua
pengadilan dapat memberikan petunjuk, teguran,
dan peringatan, yang dipandang perlu.
(5) Pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3), tidak boleh mengurangi
kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.

22. Di antara Pasal 60 dan Pasal 61 disisipkan 3 (tiga) pasal,
yakni Pasal 60A, Pasal 60B dan Pasal 60C yang berbunyi
sebagai berikut:

Pasal 60A
(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim
harus bertanggung jawab atas penetapan dan
putusan yang dibuatnya.
(2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum
hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar
hukum yang tepat dan benar.
Pasal 60B . . .













- 18 -
Pasal 60B
(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum.
(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari
keadilan yang tidak mampu.
(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) harus melampirkan surat keterangan
tidak mampu dari kelurahan tempat domisili yang
bersangkutan.

Pasal 60C
(1) Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan
hukum untuk pencari keadilan yang tidak mampu
dalam memperoleh bantuan hukum.
(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diberikan secara cuma-cuma kepada semua
tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara
tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

23. Di antara Pasal 64 dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) pasal,
yakni Pasal 64A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 64A
(1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada
masyarakat untuk memperoleh informasi yang
berkaitan dengan putusan dan biaya perkara dalam
proses persidangan.
(2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan
kepada para pihak dalam jangka waktu paling
lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan
diucapkan.
(3) Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),
ketua pengadilan dikenai sanksi sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
24. Di antara . . .













- 19 -
24. Di antara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan 2 (dua) pasal
yakni Pasal 91A dan 91B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 91A
(1) Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan
agama dapat menarik biaya perkara.
(2) Penarikan biaya perkara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disertai dengan tanda bukti
pembayaran yang sah.
(3) Biaya perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi biaya kepaniteraan dan biaya proses
penyelesaian perkara.
(4) Biaya kepaniteraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) merupakan penerimaan negara bukan
pajak, yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(5) Biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dibebankan pada pihak atau
para pihak yang berperkara yang ditetapkan oleh
Mahkamah Agung.
(6) Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas
penarikan biaya perkara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), diperiksa oleh Badan Pemeriksa
Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 91B
(1) Setiap pejabat peradilan dilarang menarik biaya
selain biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 91A ayat (3).
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 38B.


Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .













- 20 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


PATRIALIS AKBAR


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 159


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989
TENTANG PERADILAN AGAMA


I. UMUM

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal
24 ayat (1) men egaskan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan.

Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.

Perubahan Undang-Undang ini antara lain dilatarbelakangi dengan adanya
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus
2006, dimana dalam putusannya tersebut telah menyatakan Pasal 34 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
dan ketentuan pasal-pasal yang menyangkut mengenai pengawasan hakim
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebagai konsekuensi logis-yuridis dari putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut, telah dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung berdasarkan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, selain Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentan g Komisi Yudisial itu sendiri yang
terhadap beberapa pasalnya telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat.
Bahwa . . .













- 2 -
Bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama merupakan salah satu undang-undang yang mengatur
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, perlu pula
dilakukan perubahan sebagai penyesuaian atau sinkronisasi terhadap
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan
perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial.

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama telah meletakkan dasar kebijakan bahwa segala urusan
mengenai peradilan agama, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis
yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi, dan
finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
dimaksudkan untuk memperkuat prinsip dasar dalam penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian peradilan dan prinsip
kebebasan hakim dapat berjalan pararel dengan prinsip integritas dan
akuntabilitas hakim.

Perubahan penting lainnya atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama antara lain sebagai berikut:
1. penguatan pengawasan hakim, baik pengawasan internal oleh Mahkamah
Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku hakim yang
dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim;
2. memperketat persyaratan pengangkatan hakim, baik hakim pada
pengadilan agama maupun hakim pada pengadilan tinggi agama, antara
lain melalui proses seleksi hakim yang dilakukan secara transparan,
akuntabel, dan pa rtisipatif serta harus melalui proses atau lulus
pendidikan hakim;
3. pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc;
4. pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian
hakim;
5. keamanan dan kesejahteraan hakim;
6. transparansi . . .













- 3 -
6. transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan;
7. transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan
pertanggung jawaban biaya perkara;
8. bantuan hukum; dan
9. Majelis Kehormatan Hakim dan kewajiban hakim untuk menaati Kode
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama pada dasarnya untuk mewujudkan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang
bersih serta berwibawa, yang dilakukan melalui penataan sistem peradilan
yang terpadu (integrated justice system), terlebih peradilan agama secara
konstitusional merupakan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal I
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “diadakan pengkhususan
pengadilan” adalah adanya diferensiasi/spesialisasi di
lingkungan peradilan agama dimana dapat dibentuk
pengadilan khusus, misalnya pengadilan arbitrase syariah,
sedangkan yang dimaksud dengan "yang diatur dengan
undang-undang" adalah susunan, kekuasaan, dan hukum
acaranya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Tujuan diangkatnya “hakim ad hoc” adalah untuk
membantu penyelesaian perkara yang membutuhkan
keahlian khusus misalnya kejahatan perbankan syari’ah
dan yang dimaksud dalam “jangka waktu tertentu” adalah
bersifat sementara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Ayat (4) . . .













- 4 -
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 12A
Ayat (1)
Pengawasan internal atas tingkah laku hakim masih
diperlukan meskipun sudah ada pengawasan eksternal
yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan
agar pengawasan lebih komprehensif sehingga diharapkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
betul-betul dapat terjaga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12B
Cukup jelas.
Pasal 12C
Ayat (1)
Koordinasi dengan Mahkamah Agung dalam ketentuan ini
meliputi pula koordinasi dengan badan peradilan di bawah
Mahkamah Agung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12D
Cukup jelas.
Pasal 12E
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim memuat
kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh hakim
dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 12F . . .













- 5 -
Pasal 12F
Yang dimaksud dengan ”mutasi hakim” dalam ketentuan ini
meliputi promosi dan demosi hakim.
Angka 4
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pendidikan hakim diselenggarakan bersama oleh
Mahkamah Agung dan perguruan tinggi negeri agama
atau swasta yang terakreditasi A dalam jangka waktu
yang ditentukan dan melalui proses seleksi yang
ketat.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 13A
Cukup jelas.
Pasal 13B . . .













- 6 -
Pasal 13B
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud “dengan peraturan perundang-undangan”
adalah Undang-Undang Nomor 22 Ta hun 2004 tentang
Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Angka 10
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 11 . . .













- 7 -
Angka 11
Pasal 21
Ayat (1)
Pemberhentian sementara dalam ketentuan ini, selain
yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian adalah hukuman
jabatan yang dikenakan kepada seorang hakim untuk
tidak memeriksa dan mengadili perkara dalam jangka
waktu tertentu.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “sarana transportasi” adalah
kendaraan bermotor roda empat beserta
pengemudinya atau sarana lain yang memungkinkan
seorang hakim menjalankan tugas-tugasnya.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “jaminan keamanan dalam
melaksanakan tugasnya” adalah hakim diberikan
penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin
persidangan . . .













- 8 -
persidangan. Hakim harus diberikan perlindungan
keamanan oleh aparat terkait yakni aparat kepolisian agar
hakim mampu memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara secara baik dan benar tanpa adanya tekanan atau
intervensi dari pihak manapun.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 35
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pejabat peradilan yang lain”
adalah sekretaris, wakil sekretaris, wakil panitera,
panitera muda, panitera pengganti, juru sita, juru sita
pengganti, dan pejabat struktural lainnya.
Angka 16
Pasal 38A
Cukup jelas.
Pasal 38B
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b . . .













- 9 -
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “pendidikan menengah”
adalah sekolah menengah atas (SMA), madrasah
aliyah (MA), sekolah menengah kejurua n (SMK), dan
madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain
yang sederajat.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat 2
Cukup jelas.
Angka 18
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 60A
Cukup jelas.

Pasal 60B . . .













- 10 -
Pasal 60B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kelurahan” dalam ketentuan ini
termasuk desa, banjar, nagari, dan gampong.
Pasal 60C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma
termasuk biaya eksekusi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 64A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal salinan putusan tidak disampaikan, ketua
pengadilan yang bersangkutan dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis dari Ketua
Mahkamah Agung.
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”
adalah Undang-Undang Nomor 14 Ta hun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik.
Angka 24
Pasal 91A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .













- 11 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Biaya Kepaniteraan yang masuk penerimaan negara
bukan pajak adalah sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 91B
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.


TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5078


Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,




Wisnu Setiawan
sesuai dengan aslinya

Kamis, 08 Maret 2012

duniamenipuku

Dunia yang penuh bayangan indah

Kenikmatan dunia, hanyalah Bayangan semu, seperti telah kami ungkapkan dulu, ketika masih SD, melihat kakak SMP, hebat dst, setelah SMP betapa hebatnya sekolah di SMA dst, setelah SMA hebat dst Kuliyah , betapa enaknya bila sudah kerja, ternyta tidak enak jua.....

Seakan minum miras, itu membuat mereka berada di syurga, namun fakta yang berbicara, telah sering saling terjadi bertengkar meskipun meskipun sesama teman habis meminumnya, banyak sopir bertabrakan sehingga banyak mayat karenanya, ...

Maka sadarlah..............berfikirlah....................

Slogan diatas sering kita dengar, tetapi kadang diri kita sendiri tidak menyadari apa makna dan substansi dari kalimat tersebut. Secara bahasa, hubb al-dunya adalah mencintai harta benda, adapun secara istilah yaitu mencintai harta benda yang diangap mulia, tidak tahu di akhirat menjadi sia-sia . Seiring dengan perkataan ulama:
اَلدُّنْيَا كُلُّ مَا لاَ يَنْفَعُ فِى الأَخِرَةِ
“Dunia adalah sesuatu yang tidak akan membawa manfaat di akhirat”.
Dalam kitabnya: Abyanal Hawaaij : V, Syeh Ahmad Rifa’I menuliskan batasan pengertian hubb al-dunya sebagai berikut :
Hubb al-dunya adalah sikap mencintai kehidupan dunia dengan melalaikan atau mengesampingkan kehidupan di akhirat kelak. Perwujudan yang menonjol dari sifat ini adalah sikap mencintai harta benda dengan melupakan kesadaran bahwa harta benda tidak akan bermanfaat di alam akhirat. Sikap mencintai dunia cenderung menjadi penyebab timbulnya kesalahan dan sikap melupakan Allah, sebagaimana dalam kitab beliau yang lain dijelaskan: Orang yang cinta dunia (harta) menjadi sebab banyak kesalahan karena menjadi sebab banyak lupa kepada Allah SWT . Penjelasan Syeh Ahmad Rifa’I ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ
" Cinta dunia adalah pangkal segala malapetaka "
Penjelasan mengenai makalah di atas, sayangnya seringkali tanpa sadar masih kita amalkan. Nah, bahwa sumber malapetaka di negeri ini bermuara kepada cinta dunia yang berlebihan, termasuk dalam soal korupsi (corruption) ini. Jadi, karena kedua persoalan di kepentingan politik dan ekonomi saja, melainkan kepentingan duniawi sudah masuk mempengaruhi akal fikirannya. Sebagai contoh kalau ada orang berkelahi, coba cari sumbernya, tentu kepentingan. Orang Islam dengan orang Islam berkelahi, itu tidak mungkin berebut surga, tapi sumbernya adalah kepentingan.
Kita semua, dari para ulama pendahulu kita diajarkan bahwa dunia ini hanya sekedar wasilah, bukan ghayah (tujuan). Bahwa hidup di dunia ini ibarat sekedar singgah untuk minum. Kalau dalam fikirannya membawa satu keyakinan bahwa segalanya dunia, al-Quran dibaca beribu kali itu pun tidak akan berpengaruh, apalagi al-Quran hanya dagingnya saja (difahami sebagai simbolik saja). Dzikir atau istighatsah, Mujahadah tidak akan ada gunanya kalau cuma daging saja. Karena itu, seperti apa yang kita ketahui, bahwa sumber dari segala sumber itu adalah konsep dunianya kita sudah berubah jauh. Di bawah sadar, diam-diam kita sudah tidak lagi menganggap dunia sebagai perantara/wasilah, tetapi sebagai tujuan. Jadi, karena orientasi inilah korupsi terjadi. Karena itu, kalau ada kesempatan, walaupun tidak ada niat, tidak akan terjadi, dan niat ini, melalui orientasi niat dia semata terhadap dunia.
Dan memang, penyakit cinta dunia (hubb al-dunya) itulah salah satu sumber kehancuran utama umat Islam. Rasulullah saw bersabda: “Apabila umatku sudah mengagungkan dunia maka akan dicabutlah kehebatan Islam; dan apabila mereka meninggalkan aktivitas amar ma'ruf nahi munkar, maka akan diharamkan keberkahan wahyu; dan apabila umatku saling mencaci, maka jatuhlah mereka dalam pandangan Allah.” (HR Hakim dan Tirmidzi).
Orientasi dunia ini dipertebal dengan orientasi yang begitu simbolik atas keberagaman kita. Terlihat situasi sekarang yang berkembang adalah bahwa kita beragama lebih bersifat simbolik, atau tidak substansial. Bahasa simbolik itu kita katakan ‘daging’. Semua ini bagian kecil saja dari hal yang meliputi problem kita tentang korupsi.
Tampaknya, keberagaman kita sudah jatuh pada yang sifatnya daging-daging saja. Saat ini, saya kira kita menyaksikan orang jihad fi sabilillah untuk mengegolkan pelajaran agama dimasukkan dalam sekolah-sekolah formal, mulai TK sampai perguruan tinggi.
Tetapi, mereka sama sekali tidak melihat pelajarannya itu seperti apa. Padahal, ujiannya hanya seperti berapakah rukun shalat? Kalau jawaban angkanya benar, lulus begitu saja, entah soal paham makna shalat atau tidak, tidak menjadi masalah. Jadi, daging semua. Sekarang ini, substansial/ruh itu sudah semakin jauh, karena kita sudah ke daging dan daging. Jadi, kalau kita ingin mengembangkan gerakan anti korupsi, kita tidak boleh terjebak pada gerakan anti korupsi yang sifatnya ‘daging’nya saja. Sejak awal, kita juga harus mulai melihat dari akarnya, hingga menghentikan korupsi waktu dan lain sebagainya.
Melihat kondisi yang sudah carut marut demikian, seringkali kita hanya bisa menaruh harapan pada yang muda.
Memang, harapan kita tinggal anak-anak muda dan para calon ulama-ulama yang muda juga. Kita ini sudah jauh dari nilai-nilai kita sendiri. Bagaimana kita mau melawan kebusukan-kebusukan dan semua yang korupsi, kalau kita sendiri tidak tahu bahwa kita ini busuk atau tidak? Jadi, harapan memang pada yang muda. Karena, yang muda-muda ini relatif belum tercemari model pendidikan hubb al-dunya itu dan masih dapat menjaga diri mereka. Merekalah kini memang yang mengerti ‘aturan’ itu, juga yang sebenarnya faham al Quran.
Selain modal sikap ‘tidak serba dunia’ ini, penting pula mereka yang muda ini faham juga masalahnya, asal-usul korupsi itu apa, dan kalau kita mau melawan dengan model seperti apa.
Sebagaimana Al-Quran menjelaskan :
....... وَوَيْلٌ لِّلْكَافِرِيْنَ مِنْ عَذَابٍ شَدِيْدٍ (2) اَلَّذِيْنَ يَسْتَحِبُّوْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا عَلَى الْأَخِرَةِ .......
2. …….. Dan kecelakaan bagi orang-orang kafir karena siksaan yang sangat pedih,
3. (yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat,…….
Dalam surah lain juga di sebutkan:
وَاضْرِبْ لَهُمْ مَّثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ صَارَ النَّبَاتُ هَشِيْمًا يَابِسًا مُتَفَرِّقًا تَذْرُوْهُ تَنْشِيْرُهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللهُ عَلىَ كُلِّ شَيْئٍ مُّقْتَدِرًا
45. Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, Maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dalam hadits nabi di katakan:
إِنَّ اللهَ يَعْطِى الدُّنْيَا بِعَمَلِ الْأَخِرَةِ , وَلَا يَعْطِى الْأَخِرَةَ بِعَمَلِ الدُّنْيَا
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT memberikan kenikmatan duniawi ini untuk melakukan perbuatan yang bisa membawa manfaat di akhirat(niat ikhlas menggapai ridlo-Nya), dan tidak akan diberikan pahala akhirat apabila perbuatan yang kita lakukan karena dunia (mengharap kepada selain Allah SWT)”
Dalam surat Al-‘Ankabut ayat 64 diuraikan:
وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ لَهْوٌ وَّلَعِبٌ وَّإِنَّ الدَّارَ اْلأَخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ
64. Dan Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. dan Sesungguhnya akhirat Itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.
Manusia di akhir zaman sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW ibarat buih yang terapung dalam air. Jumlahnya yang banyak akan tetapi kualitasnya rendah. Manusia lemah kerana kelemahan jiwa mereka lantaran dibelenggu dua penyakit iaitu hubbu al-dunya (cintakan dunia) dan karahiyah al-maut (bencikan mati).
Apabila rasa cinta terhadap dunia merajai hati, apa jua tindak-tanduk yang dibuat hanya bertujuan keuntungan dunia yang fana semata-mata. Manusia menjadi silau dengan keindahan dan kemewahan dunia yang sementara. Islam diukur berasaskan material. Nilai keikhlasan dan daya juang makin terkikis dalam diri. Segala kerja dakwah yang disumbangkan karena mengharap pujian atau mengharapkan kenaikan pangkat.
Tiada lagi timbul kesedaran dalam diri bahwa tugas dakwah adalah amanah dan kewajiban yang akan dipersoalkan di hadapan Allah kelak, baik ditunaikan atau diabaikan?Sanggupkah kita memberikan jawaban kepada Allah Yang MahaKuasa di hari akhirat, bahwa kita tidak dapat menunaikan amanah itu kerana tiada balasan uang ringgit? Sanggupkah?
Kerana cintakan dunia, manusia meminggirkan hukum.Harta diburu tanpa melihat halal atau haramnya.Tidak peduli rezeki barokah atau tidak, yang penting kemauan dan nafsu dapat terpenuhi.
Bencikan kematian? Mengapa harus takut? Ia pasti datang menjemput kita.Usah kita menjadi seperti sebagian kaum Yahudi yang tidak pernah bercita-cita untuk mati malah memohon supaya dihidupkan lebih lama lagi kerana mereka risau tentang pembalasan Allah terhadap dosa-dosa yang dilakukan :
“Dan sudah tentu mereka tidak akan mencita-citakan mati itu selama-lamanya, Dengan sebab dosa-dosa Yang telah mereka lakukan; dan Allah sentiasa mengetahui akan orang-orang Yang zalim itu.”(Al-Baqarah : ayat 95).
Untuk apa memohon dipanjangkan usia andai sekadar untuk dipenuhi dengan maksiat dan kejahatan semata yang bakal mengundang kemurkaan Allah? Biarlah usia kita singkat, namun hidup kita penuh limpahan kasih sayang-Nya.
Penghujung kepada kehidupan dunia adalah kiamat. Kiamat harus diyakini. Terlalu banyak surah-surah di dalam Al-Quran yang menjelaskan persoalan kiamat, seperti Surah As-Sa’ah, Al-Qariah, Al-Haqqah, Al-Zalzalah dan sebagainya. Tidak cukup dengan penerangan di dalam Al-Quran, kajian astronomi turut membenarkan kandungan Al-Quran berhubung hakikat kiamat ini melalui teori bahawa semua benda pasti akan binasa. Tiada satu pun yang kekal, segalanya akan rusak dan musnah. Ini semua adalah Pertanda alam juga cukup untuk menguatkan keyakinan tentang adanya kiamat. Peristiwa tsunami, gempa bumi, banjir, tragedi tanah runtuh dan sebagainya menjadi sebagian alamat untuk kita fikirkan tentang kiamat pasti akan terjadi.
Usah bertangguh. Bertaubatlah dengan sebenar-benar taubat dan serahkan segalanya kepada Allah :
“Wahai orang-orang Yang beriman! bertaubatlah kamu kepada Allah Dengan ” taubat Nasuha”, Mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapuskan kesalahan-kesalahan kamu dan memasukkan kamu ke Dalam syurga Yang mengalir di bawahnya beberapa sungai, pada hari Allah tidak akan menghinakan Nabi dan orang-orang Yang beriman bersama-sama dengannya; cahaya (iman dan amal soleh) mereka, bergerak cepat di hadapan mereka dan di sebelah kanan mereka (semasa mereka berjalan); mereka berkata (ketika orang-orang munafik meraba-raba Dalam gelap-gelita): “Wahai Tuhan kami! sempurnakanlah bagi Kami cahaya kami, dan Limpahkanlah keampunan kepada kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”.(Surah At-Tahriim : ayat 8 )
Tingkatkan pelaburan amalan kita untuk dituai di alam akhirat.Kuatkan mujahadah menepis segala godaan dan bisikan syaitan yang cuba menjerumuskan kita ke lembah kehinaan. Supaya kehidupan kita di dunia ini, akan membawa manfaat esok di akhirat kelak. Sebagai pengakhir mari kita hayati firman Allah SWT dalam Surah Asy-Syu’ara’ 87-88 dan 89 :
وَلاَ تُخْزِنِيْ يَوْمَ يُبْعَثُوْنَ (86) يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَّلاَ بَنُوْنَ (87) إِلاَّ مَنْ أَتَى اللهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ (89)
“Dan janganlah Engkau hinakan daku pada hari makhluk-makhluk dibangkitkan hidup semula. Hari yang padanya harta benda dan anak pinak tidak dapat memberikan pertolongan sedikit pun, kecuali orang-orang yang menghadap kepada-Nya dengan hati yang bersih (lurus) “.
Ibnu Dahlan El-Madary
Alam Meduri, Pexal :06122011:05.00PM
Sholli ‘Alaa Muhammad Wa Aalihi