Powered By Blogger

SETUJUKAH GUBERNUR KE BAWAH DIPILIH DPRD

belajar sadar diri terhadap aturan hukum Tuhan m,aupun Negara

Jumat, 13 Agustus 2010

susahnya menjadi orang sadar hukum!
FIDYAH

Oleh
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilaaly
Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
________________________________________
SHIFATI SHAUMIN NABIYII SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM FII RAMADHAN
________________________________________

1. Bagi Siapa Fidyah Itu ?
Bagi ibu hamil dan menyusui jika dikhawatirkan keadaan keduanya, maka diperbolehkan berbuka dan memberi makan setiap harinya seorang miskin, dalilnya adalah firman Allah.
"Artinya : Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendaknya membayar fidyah, dengan memberi makan seorang miskin" [Al-Baqarah : 184]
Sisi pendalilannya, bahwasanya ayat ini adalah khusus bagi orang-orang yang sudah tua renta (baik laki-laki maupun perempuan), orang yang sakit yang tidak diharapkan kesembuhannya, ibu hamil dan menyusui, jika dikhawatirkan keadaan keduanya, sebagaimana akan datang penjelasannya dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.

2. Penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma.
Engkau telah mengetahui wahai saudaraku seiman, bahwasanya dalam pembahasan yang lalu ayat ini mansukh berdasarkan dua hadits Abdullah bin Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahuma, tetapi ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendaknya mereka memberi makan setiap hari seorang miskin.[Hadits Riwayat Bukhari 8/135]

Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapatnya saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasanya beliau menegaskan adanya mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan).

"Diberi rukhsah bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa, hendaknya berbuka kalau mau, atau memberi makan seorang miskin dan tidak ada qadha', kemudian dimansukh oleh ayat.
"Artinya : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu" [Al-Baqarah : 185]
Telah shahih bagi kakek dan nenek yang sudah tua jika tidak mampu berpuasa, ibu hamil dan menyusui yang khawatir keadaan keduanya untuk berbuka, kemudian memberi makan setiap harinya seorang miskin. [Ibnu Jarud 381, Al-Baihaqi 4/230, Abu Dawud 2318 sanadnya Shahih]

Sebagian orang ada yang melihat dhahir riwayat yang lalu, yaitu riwayat Bukhari pada kitab Tafsir dalam Shahihnya yang menegaskan tidak adanya naskh, hingga mereka menyangka Hibrul Ummat (Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma) menyelisihi jumhur, tetapi tatkala diberikan riwayat yang menegaskan adanya naskh, mereka menyangka adanya saling pertentangan !

3. Yang Benar Ayat Tersebut (Al-Baqarah : 185) Mansukh
Yang benar dan tidak diragukan lagi ayat tersebut adalah mansukh, tetapi dalam pengertian orang-orang terdahulu, karena Salafus Shalih Radhiyallahu a'alaihim menggunakan kata nask untuk menghilangkan pemakaian dalil-dalil umum, mutlak dan dhahir dan selainnya, adapun dengan mengkhususkan atau mengaitkan atau menunjukkan yang mutlak kepada muqayyad, penafsirannya, penjelasannya sehingga mereka menamakan istisna' (pengecualian), syarat dan sifat sebagai naskh. Karena padanya mengandung penghilangan makna dan dhahir maksud lafadz tersebut. Naskh dalam bahasa arab menjelaskan maksud tanpa memakai lafadz tersebut, bahkan (bisa juga) dengan sebab dari luar. [Lihat I'lamul Muwaqi'in 1/35 karya Ibnu Qayyim dan Al-Muwafaqat 3/118 karya As-Syatibi]

Sudah diketahui bahwa barangsiapa yang memperhatikan perkataan mereka (orang arab) akan melihat banyak sekali contoh masalah tersebut, sehingga akan hilanglah musykilat (problema) yang disebabkan memaknakan perkataan Salafus Shalih dengan perngetian yang baru yang mengandung penghilangan hukum syar'i terdahulu dengan dalil syar'i muataakhirin yang dinisbatkan kepada mukallaf.

4. Ayat Tersebut Bersifat Umum
Yang menguatkan hal ini, ayat di atas adalah bersifat umum bagi seluruh mukallaf yang mencakup orang yang bisa berpuasa atau tidak bisa puasa. Penguat hal ini dari sunnah adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu 'anhu : "Kami pernah pada bulan Ramadhan bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, barangsiapa yang mau puasa maka puasalah, dan barangsiapa yang mau berbuka maka berbukalah, tetapi harus berbuka dengan memberi fidyah kepada seorang miskin, hingga turun ayat :
"Artinya : Karena itu, barangsiapa diantara kamu hadir di bulan itu (Ramadhan-ed) maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu" [Al-Baqarah : 185]
Mungkin adanya masalah itu terjadi karena hadits Ibnu Abbas yang menegaskan adanya nash bahwa rukhsah itu untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, tetapi masalah ini akan hilang jika jelas bagimu bahwa hadits tersebut hanya sebagai dalil bukan membatasi orangnya, dalil untuk memahami hal ini terdapat pada hadits itu sendiri. Jika rukhsah tersebut hanya untuk laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia saja kemudian dihapus (dinaskh), hingga tetap berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia, maka apa makna rukhsah yang ditetapkan dan yang dinafikan itu jika penyebutan mereka bukan sebagai dalil ataupun pembatasan ?

Jika engkau telah merasa jelas dan yakin, serta berpendapat bahwa makna ayat mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi yang tidak mampu berpuasa, hukum yang pertama mansukh dengan dalil Al-Qur'an adapun hukum kedua dengan dalil dari sunnah dan tidak akan dihapus sampai hari kiamat.

Yang menguatkan hal ini adalah pernyataan Ibnu Abbas dalam riwayat yang menjelaskan adanya naskh : "Telah tetap bagi laki-laki dan wanita yang sudah lanjut usia dan tidak mampu berpuasa, serta wanita yang hamil dan menyusui jika khawatir keadaan keduanya, untuk berbuka dan memberi makan orang miskin setiap harinya".

Dan yang menambah jelas lagi hadits Muadz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu : "Adapun keadaan-keadaan puasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang ke Madinah menetapkan puasa selama tiga hari setiap bulannya, dan puasa Asyura' kemudian Allah mewajibkan puasa turunlah ayat.
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman diwajbkan atas kalian berpuasa ...." [Al-Baqarah : 183]
Kemudian Allah menurunkan ayat.
"Artinya : Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkan padanya Al-Qur'an ...." [Al-Baqarah : 185]
Allah menetapkan puasa bagi orang mukim yang sehat, dan memberi rukhsah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan keduanya ...." [Hadits Riwayat Abu Dawud dalam Sunannya 507, Al-Baihaqi dalam Sunannya 4/200, Ahmad dalam Musnad 5/246-247 dan sanadnya Shahih]

Dua hadits ini menjelaskan bahwa ayat ini mansukh bagi orang yang mampu berpuasa, dan tidak mansukh bagi orang yang tidak mampu berpuasa, yakni ayat ini dikhususkan.

Oleh karena itu Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma mencocoki sahabat, haditsnya mencocoki dua hadits yang lainnya (yaitu) hadits Ibnu Umar dan Salamah bin Al-Akwa Radhiyallahu 'anhum, dan juga tidak saling bertentangan. Perkataannya tidak mansukh ditafsirkan oleh perkataannya : itu mansukh, yakni ayat ini dikhususkan, dengan keterangan ini jelaslah bahwa naskh dalam pemahaman sahabat berlawanan dengan pengkhususan dan pembatasan di kalangan ahlus ushul mutaakhirin, demikianlah diisyaratkan oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya.[Al-Jami' li Ahkamil Qur'an 2/288]

5. Hadits Ibnu Abbas dan Muadz Hanya Ijtihad ?
Mungkin engkau menyangka wahai saudara muslim hadits dari Ibnu Abbas dan Muadz hanya semata ijtihad dan pengkhabaran hingga faedah bisa naik ke tingkatan hadts marfu' yang bisa mengkhususkan pengumuman dalam Al-Qur'an dan membatasi yang mutlaknya, menafsirkan yang global, dan jawabannya sebagai berikut.

[a] Dua hadits ini memiliki hukum marfu' menurut kesepakatan ahlul ilmi tentang hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Seorang yang beriman mencintai Allah dan Rasul-Nya tidak boleh menyelisihi dua hadits ini jika ia anggap shahih, karena dua hadits ini ada dalam tafsir ketika menjelaskan asbabun nuzul, yakni dua shahabat ini menyaksikan wahyu dan turunnya Al-Qur'an, mengabarkan ayat Al-Qur'an, bahwa turunnya begini, maka ini adalah hadits musnad, [Lihat Tadribur Rawi 1/192-193 karya Suyuhthi, 'Ulumul Hadits hal.24 karya Ibnu Shalah]

[b] Ibnu Abbas menetapkan hukum ini bagi wanita yang menyusui dan hamil, dari mana beliau mengambil hukum ini ? Tidak diragukan lagi beliau mengambil dari sunnah, terlebih lagi beliau tidak sendirian tapi disepakati oleh Abdullah bin Umar yang meriwayatkan bahwa hadits ini mansukh.

Dari Malik dari Nafi' bahwasanya Ibnu Umar ditanya tentang seorang wanita yang hamil jika mengkhawatirkan anaknya, beliau berkata : "Berbuka dan gantinya memberi makan satu mud gandum setiap harinya kepada seorang miskin" [Al-Baihaqi dalam As-Sunan 4/230 dari jalan Imam Syafi'i, sanadnya Shahih]

Daruquthni meriwayatkan I/207 dari Ibnu Umar dan beliau menshahihkannya, bahwa beliau (Ibnu Umar) berkata : "Seorang wanita hamil dan menyusui boleh berbuka dan tidak mengqadha". Dari jalan lain beliau meriwayatkan : Seorang wanita yang hamil bertanya kepada Ibnu Umar, beliau menjawab : "Berbukalah, dan berilah makan orang miskin setiap harinya dan tidak perlu mengqadha" sanadnya jayyid, dari jalan yang ketiga : Anak perempuan Ibnu Umar adalah istri seorang Quraisy, dan hamil. Dan dia kehausan ketika puasa Ramadhan, Ibnu Umar pun menyuruhnya berbuka dan memberi makan seorang miskin.

[c] Tidak ada Shahabat yang menentang Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma. [Sebagaimana dinashkan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 3/21]

6. Wanita Hamil dan Menyusui Gugur Puasanya
Keterangan ini menjelaskan makna : "Allah menggugurkan kewajiban puasa dari wanita hamil dan menyusui" yang terdapat dalam hadits Anas yang lalu, yakni dibatasi "Kalau mengkhwatirkan diri dan anaknya" dia bayar fidyah tidak mengqadha.

7. Musafir Gugur Puasanya dan Wajib Mengqadha'
Barangsiapa menyangka gugurnya puasa wanita hamil dan menyusui sama dengan musafir sehingga mengharuskan qadha', perkataan ini tertolak karena Al-Qur'an menjelaskan makna gugurnya puasa dari musafir.
"Artinya : Barangsiapa diantara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah bagimu berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain" [Al-Baqarah : 184]
Dan Allah menjelaskan makna gugurnya puasa bagi yang tidak mampu menjalankannya dalam firman-Nya.
"Artinya : Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin" [Al-Baqarah : 184]
Maka jelaslah bagi kalian, bahwa wanita hamil dan menyusui termasuk orang yang tercakup dalam ayat ini, bahkan ayat ini adalah khusus untuk mereka.

________________________________________
Disalin dari Kitab Sifat Shaum Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, edisi Indonesia Sipat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, terbitan Pustaka Al-Haura, penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata.
________________________________________
susahnya menjadi orang sadar hukum!
Puasa Tidak Sekedar Menahan Makan dan Minum
Puasa merupakan ibadah yg sangat dicintai Allah k
. Hal ini sebagaimana tersebut dlm sebuah hadits dari Abu Hurairah z
bahwa Rasulullah n
bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ. قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي
“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahala satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah k
berkata: ‘Kecuali puasa mk Aku yg akan membalas orang yg menjalankan krn dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsu dan makan krn Aku’.”
Hadits di atas dgn jelas menunjukkan betapa tinggi nilai puasa. Allah k
akan melipatgandakan pahala bukan sekedar 10 atau 700 kali lipat namun akan dibalas sesuai dgn keinginan-Nya k
. Padahal kita tahu bahwa Allah k
Maha Pemurah mk Dia tentu akan membalas pahala orang yg berpuasa dgn berlipat ganda.
Hikmah dari semua ini adl sebagaimana tersebut dlm hadits bahwa orang yg berpuasa telah meninggalkan keinginan hawa nafsu dan makan krn Allah k
. Tidak nampak dlm dzahir dia sedang melakukan suatu amalan ibadah padahal sesungguh dia sedang menjalankan ibadah yg sangat dicintai Allah k
dgn menahan lapar dan dahaga. Sementara di sekitar ada makanan dan minuman.
Di samping itu dia juga menjaga hawa nafsu dari hal-hal yg bisa membatalkan puasa. Semua itu dilakukan krn mengharapkan keridhaan Allah k
dgn meyakini bahwa Allah k
mengetahui segala gerak-geriknya.
Di antara hikmah juga yaitu krn orang yg berpuasa sedang mengumpulkan seluruh jenis kesabaran di dlm amalannya. Yaitu sabar dlm taat kepada Allah k
dalam menjauhi larangan dan di dlm menghadapi ketentuan taqdir-Nya k
. Allah k
berfirman:
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguh akan dipenuhi bagi orang2 yg sabar pahala mereka berlipat ganda tanpa perhitungan.”
Perlu menjadi catatan penting bahwa puasa bukanlah sekedar menahan diri dari makan minum dan hal-hal lain yg membatalkan puasa. Orang yg berpuasa harus pula menjaga lisan dan anggota badan lain dari segala yg diharamkan oleh Allah k
namun bukan berarti ketika tdk sedang berpuasa boleh melakukan hal-hal yg diharamkan tersebut.
Maksud adl bahwa perbuatan maksiat itu lbh berat ancaman bila dilakukan pada bulan yg mulia ini dan ketika menjalankan ibadah yg sangat dicintai Allah k
. Bisa jadi seseorang yg berpuasa itu tdk mendapatkan faidah apa-apa dari puasa kecuali hanya merasakan haus dan lapar. Na’udzubillahi min dzalik.
Untuk itu ada beberapa hal yg perlu diperhatikan oleh orang yg berpuasa agar mendapatkan balasan dan keutamaan-keutamaan yg telah Allah k
janjikan. Di antaranya:
1. Setiap muslim harus membangun ibadah puasa di atas iman kepada Allah k
dalam rangka mengharapkan ridha-Nya bukan krn ingin dipuji atau sekedar ikut-ikutan keluarga atau masyarakat yg sedang berpuasa. Rasulullah n
bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِه
“Barang siapa yg berpuasa Ramadhan krn iman dan mengharap pahala dari Allah k
akan diampuni dosa-dosa yg telah lalu.”
2. Menjaga anggota badan dari hal-hal yg diharamkan Allah k
seperti menjaga lisan dari dusta ghibah dan lain-lain. Begitu pula menjaga mata dari melihat orang lain yg bukan mahram baik secara langsung atau tdk langsung seperti melalui gambar-gambar atau film-film dan sebagainya. Juga menjaga telinga tangan kaki dan anggota badan lain dari bermaksiat kepada Allah kRasulullah n
bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yg tdk meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan mk Allah k
tak peduli dia meninggalkan makan dan minumnya.”
Maka semesti orang yg berpuasa tdk mendatangi pasar supermarket mal atau tempat-tempat keramaian lain kecuali ada kebutuhan yg mendesak. Karena biasa tempat-tempat tersebut bisa menyeret utk mendengarkan dan melihat perkara-perkara yg diharamkan Allah k
. Begitu pula menjauhi televisi krn tdk bisa dipungkiri lagi bahwa efek negatif sangat besar baik bagi orang yg berpuasa maupun yg tdk berpuasa.
3. Bersabar utk menahan diri dan tdk membalas kejelekan yg ditujukan kepadanya.
Rasulullah n
bersabda dlm hadits Abu Hurairah z
:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي امْرُؤٌ صَائِم
“Puasa adl tameng mk apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah dia berkata kotor dan janganlah bertengkar dgn mengangkat suara. Jika dia dicela dan disakiti mk katakanlah saya sedang berpuasa.”
Dari hadits tersebut bisa diambil pelajaran tentang wajib menjaga lisan. Apabila seseorang bisa menahan diri dari membalas kejelekan mk tentu dia akan terjauh dari memulai menghina dan melakukan kejelekan yg lainnya.
Sesungguh puasa itu akan melatih dan mendorong seorang muslim utk berakhlak mulia serta melatih diri menjadi sosok yg terbiasa menjalankan ketaatan kepada Allah k
. Namun mendapatkan hasil yg demikian tdk akan didapat kecuali dgn menjaga puasa dari beberapa hal yg tersebut di atas.
Puasa itu ibarat sebuah baju. Bila orang yg memakai baju itu menjaga dari kotoran atau sesuatu yg merusak tentu baju tersebut akan menutupi aurat menjaga dari terik matahari dan udara yg dingin serta memperindah penampilannya. Demikian pula puasa orang yg mengamalkan tdk akan mendapatkan buah serta faidah kecuali dgn menjaga diri dari hal-hal yg bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan pahalanya.
Wallahu a’lam bish-shawab. Sumber:
Ceramah dan ta jawab Masyayikh Salafiyyin
Sumber: www.asysyariah.com