UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR  50  TAHUN  2009 2009 
TENTANG 
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 
TENTANG PERADILAN AGAMA 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
 
Menimbang  :  a.  bahwa  kekuasaan  kehakiman  adalah  kekuasaan  yang 
merdeka  untuk  menyelenggarakan  peradilan  guna 
menegakkan  hukum  dan  keadilan  sehingga  perlu 
diwujudkan  adanya  lembaga  peradilan  yang  bersih  dan 
berwibawa  dalam  memenuhi  rasa  keadilan  dalam 
masyarakat; 
b.  bahwa  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang 
Peradilan  Agama  sebagaimana  telah  diubah  dengan 
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan 
Atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang 
Peradilan  Agama  sudah  tidak  sesuai  lagi  dengan 
perkembangan  kebutuhan  hukum  masyarakat  dan 
ketatanegaraan  menurut  Undang-Undang  Dasar  Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945;  
c.  bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana 
dimaksud  pada    huruf  a  dan  huruf  b  perlu  membentuk 
Undang-Undang  tentang  Perubahan  Kedua  Atas  Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;    
Mengingat  :  1.  Pasal  20,  Pasal  21,  Pasal  24,  dan  Pasal  25  Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
2.  Undang-Undang  Nomor  14  Tahun  1985  tentang 
Mahkamah  Agung  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia 
Tahun  1985  Nomor  73,  Tambahan  Lembaran  Negara 
Republik  Indonesia  Nomor  3316)  sebagaimana  diubah 
terakhir  dengan  Undang-Undang  Nomor  3    Tahun  2009 
tentang  Perubahan  Kedua  Atas  Undang-Undang  Nomor 
14  Tahun  1985  tentang  Mahkamah  Agung  (Lembaran 
Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2009  Nomor  3, 
Tambahan  Lembaran  Negara  Repulik  Indonesia  Nomor 
4958); 
 3. Undang-Undang . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 2 - 
3.  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang  Peradilan 
Agama  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 
1989  Nomor  49,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik 
Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan 
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan 
Atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang 
Peradilan  Agama  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia 
Tahun  2006  Nomor  22,  Tambahan  Lembaran  Negara 
Republik Indonesia Nomor 4611); 
4.  Undang-Undang  Nomor  48  Tahun  2009  tentang 
Kekuasaan  Kehakiman  (Lembaran  Negara  Republik 
Indonesia  Tahun 2009  Nomor  157,   Tambahan Lembaran 
Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan  :  UNDANG-UNDANG  TENTANG  PERUBAHAN  KEDUA  ATAS 
UNDANG-UNDANG  NOMOR  7  TAHUN  1989  TENTANG 
PERADILAN AGAMA. 
  
Pasal I 
 
Beberapa  ketentuan  dalam  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun 
1989  tentang  Peradilan  Agama  (Lembaran  Negara  Republik 
Indonesia Tahun 1989 Nomor 49,  Tambahan Lembaran Negara 
Republik  Indonesia  Nomor  3400)  sebagaimana  yang  telah 
diubah  dengan  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang 
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang 
Peradilan Agama  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 
2006  Nomor  22,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik 
Indonesia Nomor 4611), diubah sebagai berikut: 
 
 1.  Ketentuan  Pasal  1  diubah  sehingga  Pasal  1  berbunyi 
sebagai berikut: 
 
 Pasal 1 . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 3 - 
Pasal 1 
 
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 
1.  Peradilan  Agama  adalah  peradilan  bagi  orang-orang 
yang beragama Islam. 
2.  Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan 
tinggi agama di lingkungan peradilan agama.  
3.  Hakim  adalah  hakim  pada  pengadilan  agama  dan 
hakim pada pengadilan tinggi agama. 
4.  Pegawai  Pencatat  Nikah  adalah  pegawai  pencatat 
nikah pada kantor urusan agama. 
5.  Juru  Sita dan/atau Juru Sita  Pengganti adalah juru 
sita  dan/atau  juru  sita  pengganti  pada  pengadilan 
agama. 
6.  Mahkamah  Agung  adalah  salah  satu  pelaku 
kekuasaan  kehakiman  sebagaimana  dimaksud 
dalam  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik 
Indonesia Tahun 1945.  
7.  Komisi Yudisial adalah lembaga negara  sebagaimana 
dimaksud  dalam  Undang-Undang  Dasar  Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945. 
8.  Pengadilan  Khusus  adalah  pengadilan  yang 
mempunyai  kewenangan  untuk  memeriksa, 
mengadili,  dan  memutus  perkara  tertentu  yang 
hanya  dapat  dibentuk  dalam  salah  satu  lingkungan 
badan  peradilan  yang  berada  di  bawah  Mahkamah 
Agung  yang diatur dalam undang-undang. 
9.  Hakim  ad hoc  adalah hakim yang  bersifat sementara 
yang  memiliki  keahlian  dan  pengalaman  di  bidang 
tertentu  untuk memeriksa, mengadili,  dan  memutus 
suatu  perkara  yang  pengangkatannya  diatur  dalam 
undang-undang. 
 
 2.  Ketentuan  Pasal  3A  diubah  sehingga  Pasal  3A  berbunyi 
sebagai berikut: 
 
 Pasal 3A 
(1)  Di  lingkungan  peradilan  agama  dapat  dibentuk 
pengadilan  khusus    yang  diatur  dengan  undang-
undang. 
 (2) Peradilan . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 4 - 
(2)  Peradilan  Syari’ah  Islam  di  Provinsi  Nanggroe  Aceh 
Darussalam  merupakan  pengadilan  khusus  dalam 
lingkungan  peradilan  agama  sepanjang 
kewenangannya  menyangkut  kewenangan  peradilan 
agama,  dan  merupakan  pengadilan  khusus  dalam 
lingkungan  peradilan  umum  sepanjang 
kewenangannya  menyangkut  kewenangan  peradilan 
umum. 
(3)  Pada  pengadilan  khusus  dapat  diangkat  hakim  ad 
hoc  untuk  memeriksa,  mengadili,  dan  memutus 
perkara,  yang  membutuhkan  keahlian  dan 
pengalaman  dalam  bidang  tertentu  dan  dalam 
jangka waktu tertentu. 
(4)  Ketentuan mengenai  syarat, tata cara  pengangkatan, 
dan  pemberhentian  serta  tunjangan  hakim  ad  hoc 
diatur dalam peraturan perundang-undangan. 
 
 3.  Di antara  Pasal 12 dan Pasal  13  disisipkan 6 (enam) pasal, 
yakni  Pasal  12A,  Pasal  12B,  Pasal  12C,  Pasal  12D,  Pasal 
12E, dan Pasal 12F yang berbunyi sebagai berikut:  
 
 Pasal 12A 
(1)  Pengawasan  internal  atas  tingkah  laku  hakim 
dilakukan oleh Mahkamah Agung. 
(2)  Selain  pengawasan  sebagaimana  dimaksud  pada  
ayat  (1),  untuk  menjaga  dan  menegakkan 
kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku 
hakim,  pengawasan  eksternal  atas  perilaku  hakim 
dilakukan oleh Komisi Yudisial. 
 
Pasal 12B 
(1)  Hakim  harus  memiliki  integritas  dan  kepribadian 
tidak  tercela,  jujur,  adil,  profesional,  bertakwa,  dan 
berakhlak  mulia,  serta  berpengalaman  di  bidang 
hukum. 
(2)  Hakim  wajib  menaati  Kode  Etik  dan  Pedoman 
Perilaku Hakim.  
 
 
 Pasal 12C . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 5 - 
Pasal 12C 
(1)  Dalam  melakukan  pengawasan  hakim  sebagaimana  
dimaksud  dalam  Pasal  12,  Komisi  Yudisial 
melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung. 
(2)  Dalam  hal  terdapat  perbedaan  antara  hasil 
pengawasan  internal  yang  dilakukan  oleh 
Mahkamah  Agung  dan  hasil  pengawasan  eksternal 
yang  dilakukan  oleh  Komisi  Yudisial,  pemeriksaan 
dilakukan  bersama  oleh  Mahkamah  Agung  dan 
Komisi Yudisial. 
 
Pasal 12D 
(1)  Dalam  melaksanakan  pengawasan  eksternal 
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12A  ayat  (2), 
Komisi  Yudisial  mempunyai  tugas  melakukan 
pengawasan  terhadap  perilaku  hakim  berdasarkan 
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 
(2)  Dalam  melaksanakan  pengawasan  sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial berwenang: 
a.  menerima  dan  menindaklanjuti  pengaduan 
masyarakat  dan/atau  informasi  tentang 
dugaan  pelanggaran  Kode  Etik  dan  Pedoman 
Perilaku Hakim; 
b.  memeriksa  dan  memutus  dugaan  pelanggaran 
atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; 
c.  dapat menghadiri persidangan di pengadilan; 
d.  menerima  dan  menindaklanjuti  pengaduan 
Mahkamah  Agung  dan  badan-badan  peradilan 
di  bawah  Mahkamah  Agung  atas  dugaan 
pelanggaran  Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku 
Hakim; 
e.  melakukan  verifikasi  terhadap  pengaduan 
sebagaimana  dimaksud  dalam  huruf  a  dan        
huruf d; 
f.  meminta  keterangan  atau  data  kepada 
Mahkamah Agung dan/atau pengadilan; 
g. melakukan . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 6 - 
g.  melakukan  pemanggilan  dan  meminta 
keterangan  dari  hakim  yang  diduga  melanggar 
Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku  Hakim  untuk 
kepentingan pemeriksaan; dan/atau 
h.  menetapkan  keputusan  berdasarkan  hasil 
pemeriksaan  sebagaimana  dimaksud  dalam     
huruf b. 
 
 Pasal 12E 
(1)  Dalam  melaksanakan  pengawasan  sebagaimana 
dimaksud  dalam  Pasal  12A,  Komisi  Yudisial 
dan/atau Mahkamah Agung wajib: 
a.  menaati  norma  dan  peraturan  perundang-
undangan; 
b.  menaati  Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku 
Hakim; dan  
c.  menjaga  kerahasiaan  keterangan  atau 
informasi yang diperoleh. 
(2)  Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku  Hakim 
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  ditetapkan 
oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. 
(3)  Pelaksanaan  tugas  sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat  (1)  tidak  boleh  mengurangi  kebebasan  hakim 
dalam memeriksa dan memutus perkara. 
(4)  Ketentuan  mengenai  pengawasan  eksternal  dan 
pengawasan  internal  hakim  diatur  dalam  undang-
undang. 
 
 Pasal 12F 
Dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan, 
keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial 
dapat  menganalisis  putusan  pengadilan  yang  telah 
memperoleh  kekuatan  hukum  tetap  sebagai  dasar 
rekomendasi untuk melakukan mutasi  hakim. 
 
 4.  Ketentuan  Pasal  13  diubah  sehingga  Pasal  13  berbunyi 
sebagai berikut: 
 
 Pasal 13 . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 7 - 
Pasal 13 
(1)  Untuk  dapat  diangkat  sebagai  hakim  pengadilan 
agama,  seseorang  harus  memenuhi  syarat  sebagai 
berikut: 
a.  warga negara Indonesia; 
b.  beragama Islam; 
c.  bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
d.  setia  kepada  Pancasila  dan  Undang-Undang 
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
e.  sarjana  syari’ah,  sarjana  hukum  Islam  atau 
sarjana hukum yang menguasai hukum  Islam; 
f.  lulus pendidikan hakim; 
g.  mampu  secara  rohani  dan  jasmani  untuk 
menjalankan tugas dan kewajiban;  
h.  berwibawa,  jujur,  adil,  dan  berkelakuan  tidak 
tercela;  
i.  berusia  paling  rendah  25  (dua  puluh  lima) 
tahun  dan  paling  tinggi  40  (empat  puluh) 
tahun; dan 
j.  tidak  pernah  dijatuhi  pidana  penjara  karena  
melakukan  kejahatan  berdasarkan  putusan 
pengadilan  yang  telah  memperoleh  kekuatan 
hukum tetap.  
(2)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  ketua  atau  wakil 
ketua  pengadilan  agama,  hakim  harus 
berpengalaman  paling  singkat  7  (tujuh)  tahun 
sebagai hakim pengadilan agama. 
       
 5.  Di  antara  Pasal  13  dan  Pasal  14  disisipkan  2  (dua)  pasal, 
yakni  Pasal  13A  dan  Pasal  13B  yang  berbunyi  sebagai 
berikut:  
  
Pasal 13A 
(1)  Pengangkatan  hakim  pengadilan  agama  dilakukan 
melalui  proses  seleksi  yang  transparan,  akuntabel, 
dan partisipatif. 
 (2) Proses . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 8 - 
(2)  Proses  seleksi  pengangkatan  hakim  pengadilan 
agama  dilakukan  bersama  oleh  Mahkamah  Agung 
dan Komisi Yudisial.  
(3)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  proses  seleksi 
diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. 
 
Pasal 13B 
(1)  Untuk  dapat  diangkat  sebagai  hakim  ad  hoc, 
seseorang  harus  memenuhi  syarat  sebagaimana  
dimaksud  dalam  Pasal  13  ayat  (1),  kecuali  huruf  e 
dan huruf f.  
(2)  Larangan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  17 
ayat  (1)  huruf  c  tetap  berlaku  kecuali  undang-
undang menentukan lain. 
(3)  Tata  cara  pelaksanaan  ketentuan  ayat  (1)  diatur 
dalam peraturan perundang-undangan.  
 
 6.  Ketentuan  Pasal  14  ayat  (1)  diubah  sehingga  Pasal  14 
berbunyi sebagai berikut:  
 
Pasal 14 
(1)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  hakim  pengadilan 
tinggi  agama,  seorang  hakim  harus  memenuhi 
syarat sebagai berikut: 
a.  syarat  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  13 
ayat  (1)  huruf  a,  huruf  b,  huruf  c,  huruf  d, 
huruf g, dan huruf j;  
b.  berumur  paling  rendah  40  (empat  puluh) 
tahun;  
c.  berpengalaman  paling  singkat  5  (lima)  tahun 
sebagai  ketua,  wakil  ketua,  pengadilan  agama, 
atau  15  (lima  belas)  tahun  sebagai  hakim 
pengadilan agama;  
d.  lulus  eksaminasi  yang  dilakukan  oleh 
Mahkamah Agung; dan 
 e. tidak . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 9 - 
e.  tidak  pernah  dijatuhi  sanksi  pemberhentian 
sementara  akibat melakukan  pelanggaran  Kode 
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.   
(2)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  ketua  pengadilan 
tinggi  agama  harus  berpengalaman  paling  singkat  5 
(lima)  tahun  sebagai  hakim  pengadilan tinggi  agama  
atau  3  (tiga)  tahun  bagi  hakim  pengadilan  tinggi 
agama  yang  pernah  menjabat  ketua  pengadilan 
agama. 
(3)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  wakil  ketua  
pengadilan  tinggi  agama  harus  berpengalaman 
paling  singkat  4  (empat)  tahun  sebagai  hakim 
pengadilan  tinggi  agama  atau  2  (dua)  tahun  bagi 
hakim  pengadilan  tinggi  agama  yang  pernah 
menjabat ketua pengadilan agama. 
    
 7.  Ketentuan Pasal   15 ayat   (1)  diubah dan di antara ayat (1) 
dan  ayat  (2)  disisipkan  2  (dua)  ayat,  yakni  ayat  (1a)  dan 
ayat (1b) sehingga Pasal 15 yang berbunyi sebagai berikut: 
 
Pasal 15 
(1)  Hakim  pengadilan  diangkat  oleh  Presiden  atas  usul 
Ketua Mahkamah Agung.  
(1a)    Hakim  pengadilan  diberhentikan  oleh  Presiden  atas 
usul  Ketua  Mahkamah  Agung  dan/atau  Komisi 
Yudisial melalui Ketua Mahkamah Agung. 
(1b)  Usul  pemberhentian  hakim  yang  dilakukan  oleh 
Komisi  Yudisial  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat 
(1a)  hanya  dapat  dilakukan  apabila  hakim  yang 
bersangkutan  melanggar  Kode  Etik  dan  Pedoman 
Perilaku Hakim. 
(2)   Ketua  dan  wakil  ketua  pengadilan  diangkat  dan 
diberhentikan oleh Ketua  Mahkamah Agung. 
         
 8.  Ketentuan  Pasal  18  ayat  (1)  diubah  sehingga  Pasal  18 
berbunyi sebagai berikut: 
 
 Pasal 18 . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 10 - 
Pasal 18 
(1)  Ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim  pengadilan 
diberhentikan  dengan  hormat  dari  jabatannya  
karena: 
a.  atas permintaan sendiri secara tertulis; 
b.  sakit  jasmani  ata u  rohani  secara  terus-
menerus;  
c.  telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi 
ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim  pengadilan 
agama,  dan  67  (enam  puluh  tujuh)  tahun  bagi 
ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim  pengadilan 
tinggi agama; atau 
d.  ternyata  tidak  cakap  dalam  menjalankan 
tugasnya.  
(2)  Ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim  pengadilan  yang 
meninggal  dunia  dengan  sendirinya  diberhentikan 
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden. 
 
 9.  Ketentuan  Pasal  19  diubah  sehingga  Pasal  19  berbunyi 
sebagai berikut:  
  
Pasal 19 
(1)  Ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim  pengadilan 
diberhentikan  tidak  dengan  hormat  dari  jabatannya 
dengan alasan: 
a.  dipidana  penjara  karena  melakukan  kejahatan 
berdasarkan  putusan  pengadilan  yang  telah 
memperoleh kekuatan hukum tetap; 
b.  melakukan perbuatan tercela;  
c.  melalaikan  kewajiban  dalam  menjalankan 
tugas  pekerjaannya  terus-menerus  selama  3 
(tiga) bulan; 
d.  melanggar sumpah atau janji jabatan;  
e.  melanggar   larangan   sebagaimana   dimaksud  
dalam Pasal 17; dan/atau 
f.  melanggar  Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku 
Hakim.   
 (2) Usul . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 11 - 
(2)  Usul  pemberhentian  sebagaimana  dimaksud  pada  
ayat  (1)  huruf  a   diajukan  oleh  Ketua  Mahkamah 
Agung kepada Presiden. 
(3)  Usul  pemberhentian  dengan  alasan  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (1)  huruf  b  diajukan  oleh 
Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial. 
(4)  Usul  pemberhentian  dengan  alasan  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (1)  huruf  c,  huruf  d,  dan     
huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung. 
(5)  Usul  pemberhentian  dengan  alasan  sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1) huruf f diajukan oleh  Komisi 
Yudisial. 
(6)  Sebelum  Mahkamah  Agung  dan/atau  Komisi  
Yudisial  mengajukan  usul  pemberhentian  karena 
alasan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3),  ayat 
(4),  dan  ayat  (5),  hakim  pengadilan  mempunyai  hak 
untuk membela  diri  di  hadapan  Majelis  Kehormatan 
Hakim. 
(7)  Majelis  Kehormatan  Hakim  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (6)  diatur  sesuai  dengan  peraturan 
perundang-undangan.  
 
 10.  Ketentuan  Pasal  20  diubah  sehingga  Pasal  20  berbunyi 
sebagai berikut: 
  
Pasal 20 
Dalam  hal  ketua  atau  wakil  ketua  pengadilan 
diberhentikan  dengan hormat dari jabatannya karena  atas 
permintaan  sendiri  secara  tertulis  sebagaimana  dimaksud 
dalam  Pasal  18  ayat  (1)  huruf  a,  tidak  dengan  sendirinya 
diberhentikan sebagai hakim. 
 
 11.  Di antara ayat  (1) dan  ayat (2)  Pasal 21  disisipkan  1  (satu) 
ayat, yakni ayat (1a) yang berbunyi sebagai berikut: 
 
 
 
 Pasal 21 . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 12 - 
Pasal 21 
(1)  Ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim  pengadilan  sebelum 
diberhentikan  tidak  dengan  hormat  sebagaimana 
dimaksud  dalam  Pasal  19  ayat  (1)  huruf  b,  huruf  c, 
huruf  d,  huruf  e,  dan  huruf  f  dapat  diberhentikan 
sementara  dari  jabatannya  oleh  Ketua  Mahkamah 
Agung. 
(1a)  Pemberhentian  sementara  sebagaimana  dimaksud 
pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Komisi Yudisial. 
(2)  Terhadap  pemberhentian  sementara  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (1)  berlaku  juga  ketentuan 
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2). 
(3)  Pemberhentian  sementara  sebagaimana  dimaksud 
pada ayat (1) berlaku paling lama 6 (enam) bulan. 
 
 12.  Ketentuan  Pasal  24  diubah  sehingga  Pasal  24  berbunyi 
sebagai berikut:  
  
Pasal 24 
(1)  Kedudukan  protokol  hakim  pengadilan  diatur 
dengan peraturan perundang-undangan. 
(2)  Selain  mempunyai  kedudukan  protokoler,  hakim 
pengadilan  berhak  memperoleh  gaji  pokok, 
tunjangan,  biaya  dinas,  pensiun  dan  hak-hak 
lainnya. 
(3)  Tunjangan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (2) 
berupa: 
a.  tunjangan jabatan; dan 
b.  tunjangan  lain  berdasarkan  peraturan 
perundang-undangan. 
(4)  Hak-hak  lainnya  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat 
(2) berupa: 
a.  rumah jabatan milik negara; 
b.  jaminan kesehatan; dan 
c.  sarana transportasi milik negara. 
(5) Hakim . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 13 - 
(5)  Hakim  pengadilan  diberi  jaminan  keamanan  dalam 
melaksanakan tugasnya. 
(6)  Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  gaji  pokok, 
tunjangan,  dan  hak-hak  lainnya  beserta  jaminan 
keamanan  bagi  ketua,  wakil  ketua,  dan  hakim 
pengadilan  diatur  dengan  peraturan  perundang-
undangan. 
 
 13.  Ketentuan  Pasal  27  diubah  sehingga  Pasal  27  berbunyi 
sebagai berikut: 
  
Pasal 27 
Untuk dapat diangkat menjadi panitera pengadilan agama, 
seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: 
a.  warga negara Indonesia; 
b.  beragama Islam; 
c.  bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
d.  setia  kepada  Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
e.  berijazah  sarjana  syari’ah,  sarjana  hukum  Islam, 
atau sarjana hukum yang menguasai hukum  Islam; 
f.  berpengalaman  paling  singkat  3  (tiga) tahun  sebagai 
wakil panitera, 5 (lima) tahun sebagai panitera muda 
pengadilan  agama,  atau  menjabat  wakil  panitera 
pengadilan tinggi agama; dan  
g.  mampu  secara  rohani  dan  jasmani  untuk 
menjalankan tugas dan kewajiban.  
 
 14.  Ketentuan  Pasal  30  diubah  sehingga  Pasal  30  berbunyi 
sebagai berikut: 
  
Pasal 30 
Untuk  dapat  diangkat  menjadi  wakil  panitera  pengadilan 
tinggi  agama,  seorang  calon  harus  memenuhi  syarat 
sebagai berikut: 
a.  syarat sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 27 huruf 
a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g;  
b. dihapus . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 14 - 
b.  dihapus. 
c.  berpengalaman  paling singkat 2 (dua) tahun  sebagai 
panitera  muda  pengadilan  tinggi  agama,  5  (lima) 
tahun  sebagai  panitera  muda  pengadilan  tinggi 
agama,  atau  3  (tiga)  tahun  sebagai  wakil  panitera 
pengadilan  agama,  atau  menjabat  sebagai  panitera  
pengadilan agama.   
 
 15.  Ketentuan  Pasal  35  diubah  sehingga  Pasal  35  berbunyi 
sebagai berikut: 
  
Pasal 35 
Panitera tidak boleh merangkap menjadi: 
a.  wali; 
b.  pengampu; 
c.  advokat; dan/atau 
d.  pejabat peradilan yang lain. 
 
 16.  Di  antara  Pasal  38  dan  Pasal  39  disisipkan  2  (dua)  pasal, 
yakni  Pasal  38A  dan  Pasal  38B  yang  berbunyi  sebagai 
berikut: 
 
 Pasal 38A 
Panitera,  wakil  panitera,  panitera  muda,  dan  panitera  
pengganti  pengadilan  diberhentikan  dengan  hormat 
dengan alasan: 
a.  meninggal dunia; 
b.  atas permintaan sendiri secara tertulis; 
c.  sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus; 
d.  telah berumur 60 (enam  puluh) tahun bagi  panitera, 
wakil  panitera,  panitera  muda,  dan  panitera 
pengganti pengadilan agama; 
e.  telah  berumur  62  (enam  puluh  dua)  tahun  bagi 
panitera,  wakil  panitera,  panitera  muda,  dan 
panitera  pengganti  pengadilan  tinggi    agama; 
dan/atau 
f.  ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya. 
 
 Pasal 38B . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 15 - 
Pasal 38B 
Panitera,  wakil  panitera,  panitera  muda,  dan  panitera  
pengganti  pengadilan  diberhentikan  tidak    dengan  hormat 
dengan alasan: 
a.  dipidana  penjara  karena  melakukan  kejahatan 
berdasarkan  putusan  pengadilan  yang  telah 
memperoleh kekuatan hukum tetap; 
b.  melakukan perbuatan tercela; 
c.  melalaikan  kewajiban  dalam  menjalankan  tugas 
pekerjaannya terus menerus selama 3 (tiga) bulan; 
d.  melanggar sumpah atau janji jabatan;  
e.  melanggar  larangan  sebagaimana  dimaksud  dalam 
Pasal 35; dan/atau 
f.  melanggar kode etik panitera. 
 
 17.  Ketentuan  Pasal  39  diubah  sehingga  Pasal  39  berbunyi 
sebagai berikut: 
  
Pasal 39 
(1)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  juru  sita,  seorang 
calon harus memenuhi syarat sebagai berikut: 
a.  warga negara Indonesia; 
b.  beragama Islam; 
c.  bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
d.  setia  kepada  Pancasila  dan  Undang-Undang 
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  
e.  berijazah pendidikan menengah;                  
f.  berpengalaman  paling  singkat  3  (tiga)  tahun 
sebagai juru sita pengganti; dan 
g.  mampu  secara  rohani  dan  jasmani  untuk 
menjalankan tugas dan kewajiban. 
(2)  Untuk  dapat  diangkat  menjadi  juru  sita  pengganti, 
seorang  calon  harus  memenuhi  syarat  sebagai 
berikut: 
a.  syarat  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) 
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan 
huruf g; dan 
 b. berpengalaman . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 16 - 
b.  berpengalaman  paling  singkat  3  (tiga)  tahun 
sebagai pegawai negeri pada pengadilan agama. 
 
 18.  Ketentuan Pasal 44 dihapus. 
 
 19.  Ketentuan  Pasal  45  diubah  sehingga  Pasal  45  berbunyi 
sebagai berikut:  
  
Pasal 45 
Untuk  dapat  diangkat  menjadi  sekretaris  dan  wakil 
sekretaris  pengadilan  agama,  seorang  calon  harus 
memenuhi syarat sebagai berikut: 
a.  warga negara Indonesia; 
b.  beragama Islam; 
c.  bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; 
d.  setia  kepada  Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar 
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
e.  berijazah  sarjana  syari’ah,  sarjana  hukum  Islam, 
sarjana  hukum yang menguasai hukum   Islam, atau 
sarjana administrasi; 
f.  berpengalaman  paling  singkat  2  (dua)  tahun  di 
bidang administrasi peradilan; dan 
g.  mampu  secara  rohani  dan  jasmani  untuk 
menjalankan tugas dan kewajiban. 
 
 20.  Ketentuan  Pasal  46  diubah  sehingga  Pasal  46  berbunyi 
sebagai berikut: 
  
Pasal 46 
Untuk  dapat  diangkat  menjadi  sekretaris  dan  wakil 
sekretaris  pengadilan  tinggi  agama,  seorang  calon  harus 
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 
a.  syarat-syarat  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal 
45  huruf    a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e,  dan 
huruf g; dan 
b.  berpengalaman  paling  singkat  4  (empat)  tahun  di 
bidang administrasi peradilan. 
 
 21. Ketentuan . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 17 - 
 
 21.  Ketentuan  Pasal  53  diubah  sehingga  Pasal  53  berbunyi 
sebagai berikut: 
 
 Pasal 53 
(1)  Ketua  pengadilan  melakukan  pengawasan  atas 
pelaksanaan tugas hakim. 
(2)  Ketua  pengadilan  selain  melakukan  pengawasan 
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  juga 
mengadakan  pengawasan  terhadap  pelaksanaan  
tugas dan perilaku panitera, sekretaris, dan juru sita 
di daerah hukumnya.  
(3)  Selain  tugas  melakukan  pengawasan  sebagaimana  
dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2),  ketua 
pengadilan  tinggi  agama  di  daerah  hukumnya 
melakukan  pengawasan terhadap jalannya peradilan 
di  tingkat  pengadilan  agama  dan  menjaga  agar 
peradilan  diselenggarakan  dengan  seksama  dan 
sewajarnya. 
(4)  Dalam  melakukan  pengawasan  sebagaimana 
dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2),  ketua 
pengadilan  dapat  memberikan  petunjuk,  teguran, 
dan peringatan, yang dipandang perlu. 
(5)  Pengawasan  sebagaimana  yang dimaksud  pada ayat 
(1),  ayat  (2),  dan  ayat  (3),  tidak  boleh  mengurangi 
kebebasan  hakim  dalam  memeriksa  dan  memutus 
perkara. 
 
 22.  Di  antara  Pasal  60  dan  Pasal  61  disisipkan  3  (tiga)  pasal, 
yakni  Pasal  60A,  Pasal  60B  dan  Pasal  60C  yang  berbunyi 
sebagai berikut: 
 
 Pasal 60A 
(1)  Dalam  memeriksa  dan  memutus  perkara,  hakim 
harus  bertanggung  jawab  atas  penetapan  dan 
putusan yang dibuatnya. 
(2)  Penetapan  dan  putusan  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (1)  harus  memuat  pertimbangan  hukum 
hakim  yang  didasarkan  pada  alasan  dan  dasar 
hukum yang tepat dan benar. 
 Pasal 60B . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 18 - 
Pasal 60B 
(1)  Setiap  orang  yang  tersangkut  perkara  berhak 
memperoleh bantuan hukum. 
(2)  Negara  menanggung  biaya  perkara  bagi  pencari 
keadilan yang tidak mampu.   
(3)  Pihak  yang  tidak  mampu  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (2)  harus  melampirkan  surat  keterangan 
tidak  mampu  dari  kelurahan  tempat  domisili  yang 
bersangkutan.  
 
 Pasal 60C 
(1)  Pada setiap pengadilan agama dibentuk pos bantuan 
hukum  untuk  pencari  keadilan  yang  tidak  mampu 
dalam memperoleh bantuan hukum. 
(2)  Bantuan  hukum  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat 
(1)  diberikan  secara  cuma-cuma  kepada  semua 
tingkat  peradilan  sampai  putusan  terhadap  perkara 
tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap. 
(3)  Bantuan  hukum  dan  pos  bantuan  hukum 
sebagaimana  dimaksud    pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2) 
dilaksanakan  sesuai  dengan  peraturan  perundang-
undangan.  
  
23.  Di  antara  Pasal  64  dan  Pasal  65 disisipkan 1  (satu)  pasal, 
yakni Pasal 64A yang berbunyi sebagai berikut:  
 
Pasal 64A 
(1)  Pengadilan  wajib  memberikan  akses  kepada  
masyarakat  untuk  memperoleh  informasi  yang 
berkaitan  dengan  putusan  dan  biaya  perkara  dalam 
proses persidangan. 
(2)  Pengadilan  wajib  menyampaikan  salinan  putusan 
kepada  para  pihak  dalam  jangka  waktu  paling 
lambat  14  (empat  belas)  hari  kerja  sejak  putusan 
diucapkan. 
(3)  Apabila  pengadilan  tidak  melaksanakan  ketentuan 
sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  dan  ayat  (2), 
ketua pengadilan dikenai  sanksi sebagaimana  diatur 
dalam peraturan perundang-undangan. 
24. Di antara . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 19 - 
24.  Di  antara  Pasal  91  dan  Pasal  92  disisipkan  2  (dua)  pasal 
yakni Pasal 91A dan 91B yang berbunyi sebagai berikut: 
 
Pasal 91A 
(1)  Dalam  menjalankan  tugas  peradilan,  peradilan 
agama dapat menarik biaya perkara. 
(2)  Penarikan  biaya  perkara  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (1)  wajib  disertai  dengan  tanda  bukti 
pembayaran yang sah. 
(3)  Biaya  perkara  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) 
meliputi  biaya  kepaniteraan  dan  biaya  proses 
penyelesaian perkara. 
(4)  Biaya  kepaniteraan  sebagaimana  dimaksud  pada 
ayat  (3)  merupakan  penerimaan  negara  bukan 
pajak,  yang  ditetapkan  sesuai  dengan  peraturan 
perundang-undangan. 
(5)  Biaya  proses  penyelesaian  perkara  sebagaimana  
dimaksud pada ayat (3) dibebankan  pada pihak atau 
para  pihak  yang  berperkara  yang  ditetapkan  oleh 
Mahkamah Agung. 
(6)  Pengelolaan  dan  pertanggungjawaban  atas 
penarikan  biaya  perkara  sebagaimana  dimaksud 
pada  ayat  (1),  diperiksa  oleh  Badan  Pemeriksa  
Keuangan  sesuai  dengan  peraturan  perundang-
undangan. 
 
 Pasal 91B 
(1)  Setiap  pejabat  peradilan  dilarang  menarik  biaya 
selain  biaya  perkara  sebagaimana  dimaksud  dalam 
Pasal 91A ayat (3). 
(2)  Pelanggaran  terhadap  ketentuan  sebagaimana  
dimaksud  pada  ayat  (1)  dikenai  sanksi 
pemberhentian  tidak  dengan  hormat  sebagaimana 
dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 38B. 
 
  
 Pasal  II 
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 
 
 Agar . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 20 - 
Agar  setiap  orang  mengetahuinya,  memerintahkan 
pengundangan  Undang-Undang  ini  dengan  penempatannya 
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. 
 
 
Disahkan di Jakarta 
pada tanggal 29 Oktober 2009 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
 
 
               ttd. 
 
 
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO 
 
Diundangkan di Jakarta 
pada tanggal 29 Oktober 2009 
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA 
                 REPUBLIK INDONESIA, 
 
 
                                ttd. 
 
 
                    PATRIALIS AKBAR 
 
 
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN  2009  NOMOR 159 
 
PENJELASAN 
ATAS 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR  50  TAHUN  2009 
TENTANG 
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 
TENTANG PERADILAN AGAMA 
 
 
I.  UMUM 
 
 Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  dalam  Pasal 
24  ayat  (1)  men egaskan  bahwa  kekuasaan  kehakiman  merupakan 
kekuasaan  yang  merdeka  untuk  menyelenggarakan  peradilan  guna 
menegakkan hukum dan keadilan.  
 
Pasal  24  ayat  (2)  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 
1945  menentukan  bahwa  kekuasaan  kehakiman  dilakukan  oleh  sebuah 
Mahkamah  Agung  dan  badan  peradilan  di  bawahnya  dalam  lingkungan 
peradilan  umum,  lingkungan  peradilan  agama,  lingkungan  peradilan  militer, 
lingkungan  peradilan  tata  usaha  negara,  dan  oleh  sebuah  Mahkamah 
Konstitusi. 
 
Perubahan  Undang-Undang  ini  antara  lain  dilatarbelakangi  dengan  adanya 
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tanggal 23 Agustus 
2006,  dimana  dalam  putusannya  tersebut  telah  menyatakan  Pasal  34  ayat 
(3)  Undang-Undang  Nomor  4  Tahun  2004  tentang  Kekuasaan  Kehakiman 
dan  ketentuan  pasal-pasal  yang  menyangkut  mengenai  pengawasan  hakim 
dalam  Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  2004  tentang  Komisi  Yudisial 
bertentangan  dengan  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia 
Tahun  1945  dan  karenanya  tidak  mempunyai  kekuatan  hukum  mengikat. 
Sebagai  konsekuensi  logis-yuridis  dari  putusan  Mahkamah  Konstitusi 
tersebut,  telah  dilakukan  perubahan atas  Undang-Undang  Nomor 14  Tahun 
1985  tentang  Mahkamah  Agung  sebagaimana  telah  diubah  dengan  Undang-
Undang  Nomor  5  Tahun  2004  tentang  Perubahan  Atas  Undang-Undang 
Nomor  14  Tahun  2004  tentang  Mahkamah  Agung  berdasarkan  Undang-
Undang  Nomor  3  Tahun  2009  tentang  Perubahan  Kedua  Atas  Undang-
Undang  Nomor  14  Tahun  1985  tentang  Mahkamah  Agung,  selain  Undang-
Undang  Nomor  22  Tahun  2004  tentan g  Komisi  Yudisial  itu  sendiri  yang 
terhadap  beberapa  pasalnya  telah  dinyatakan  tidak  mempunyai  kekuatan 
hukum yang mengikat. 
 Bahwa . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 2 - 
Bahwa  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang  Peradilan  Agama  
sebagaimana  telah  diubah  dengan  Undang-Undang  Nomor  3  Tahun  2006 
tentang  Perubahan  Atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang 
Peradilan  Agama  merupakan  salah  satu  undang-undang  yang  mengatur 
lingkungan  peradilan  yang  berada  di  bawah  Mahkamah  Agung,  perlu  pula 
dilakukan  perubahan  sebagai  penyesuaian  atau  sinkronisasi  terhadap 
Undang-Undang  Nomor  3  Tahun  2009  tentang  Perubahan  Kedua  Atas 
Undang-Undang  Nomor  14  Tahun  1985  tentang  Mahkamah  Agung  dan 
perubahan  atas  Undang-Undang  Nomor  22  Tahun  2004  tentang  Komisi 
Yudisial.  
 
Perubahan  Kedua  Atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang 
Peradilan  Agama  telah  meletakkan  dasar  kebijakan  bahwa  segala  urusan 
mengenai  peradilan  agama,  pengawasan  tertinggi  baik  menyangkut  teknis 
yudisial  maupun  non  yudisial  yaitu  urusan  organisasi,  administrasi,  dan 
finansial  berada  di  bawah  kekuasaan  Mahkamah  Agung.  Sedangkan  untuk 
menjaga  dan  menegakkan  kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku 
hakim,  pengawasan  eksternal  dilakukan  oleh  Komisi  Yudisial.  Perubahan 
Kedua  Atas Undang-Undang  Nomor  7  Tahun 1989  tentang Peradilan  Agama  
dimaksudkan  untuk  memperkuat  prinsip  dasar  dalam  penyelenggaraan 
kekuasaan kehakiman, yaitu agar  prinsip kemandirian peradilan  dan prinsip 
kebebasan  hakim  dapat  berjalan  pararel  dengan  prinsip  integritas  dan 
akuntabilitas hakim. 
 
Perubahan  penting  lainnya  atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989 
tentang Peradilan Agama sebagaimana  telah diubah dengan Undang-Undang 
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama antara lain sebagai berikut: 
1.  penguatan pengawasan hakim, baik  pengawasan internal oleh Mahkamah 
Agung  maupun  pengawasan  eksternal  atas  perilaku  hakim  yang 
dilakukan  oleh  Komisi  Yudisial  dalam  menjaga  dan  menegakkan 
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim; 
2.  memperketat  persyaratan  pengangkatan  hakim,  baik  hakim  pada  
pengadilan  agama  maupun  hakim  pada  pengadilan  tinggi  agama,  antara 
lain  melalui  proses  seleksi  hakim  yang  dilakukan  secara  transparan, 
akuntabel,  dan  pa rtisipatif  serta  harus  melalui  proses  atau  lulus 
pendidikan hakim; 
3.  pengaturan mengenai pengadilan khusus dan hakim ad hoc; 
4.  pengaturan  mekanisme  dan  tata  cara  pengangkatan  dan  pemberhentian 
hakim; 
5.  keamanan dan kesejahteraan hakim; 
 6. transparansi . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 3 - 
6.  transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan; 
7.  transparansi  biaya  perkara  serta  pemeriksaan  pengelolaan  dan 
pertanggung jawaban biaya perkara; 
8.  bantuan hukum; dan 
9.  Majelis  Kehormatan  Hakim  dan  kewajiban  hakim  untuk  menaati  Kode 
Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.  
 
Perubahan secara umum atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang 
Peradilan  Agama  sebagaimana  telah  diubah  dengan  Undang-Undang  Nomor 
3  Tahun  2006  tentang  Peradilan  Agama  pada  dasarnya  untuk  mewujudkan 
penyelenggaraan  kekuasaan  kehakiman  yang  merdeka  dan  peradilan  yang 
bersih  serta  berwibawa,  yang  dilakukan  melalui  penataan  sistem  peradilan 
yang  terpadu  (integrated  justice  system),  terlebih  peradilan  agama  secara  
konstitusional merupakan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. 
 
II.  PASAL DEMI PASAL 
 
Pasal I 
Angka 1    
Cukup jelas. 
 Angka 2 
Pasal 3A 
Ayat (1) 
Yang  dimaksud  dengan  “diadakan  pengkhususan 
pengadilan”  adalah  adanya  diferensiasi/spesialisasi  di 
lingkungan  peradilan  agama  dimana  dapat  dibentuk 
pengadilan khusus, misalnya pengadilan arbitrase syariah, 
sedangkan  yang  dimaksud  dengan  "yang  diatur  dengan 
undang-undang" adalah susunan, kekuasaan,  dan  hukum 
acaranya. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Tujuan  diangkatnya  “hakim  ad  hoc”  adalah  untuk 
membantu  penyelesaian  perkara  yang  membutuhkan 
keahlian  khusus  misalnya  kejahatan  perbankan  syari’ah 
dan yang  dimaksud  dalam  “jangka  waktu  tertentu”  adalah 
bersifat  sementara  sesuai  dengan  ketentuan  peraturan 
perundang-undangan. 
 Ayat (4) . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 4 - 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Angka 3 
Pasal 12A 
Ayat (1) 
Pengawasan  internal  atas  tingkah  laku  hakim  masih 
diperlukan  meskipun  sudah  ada  pengawasan  eksternal 
yang  dilakukan  oleh  Komisi Yudisial.  Hal ini  dimaksudkan 
agar  pengawasan  lebih komprehensif sehingga  diharapkan 
kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku  hakim 
betul-betul dapat terjaga. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Pasal 12B 
Cukup jelas. 
Pasal 12C 
Ayat (1) 
Koordinasi dengan  Mahkamah Agung dalam  ketentuan ini 
meliputi pula koordinasi dengan badan peradilan di bawah 
Mahkamah Agung. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Pasal 12D 
Cukup jelas. 
Pasal 12E 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku  Hakim  memuat 
kewajiban  dan  larangan  yang  harus  dipatuhi  oleh  hakim 
dalam  rangka  menjaga  dan  menegakkan  kehormatan, 
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
 
 Pasal 12F . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 5 - 
Pasal 12F 
Yang  dimaksud  dengan  ”mutasi  hakim”  dalam  ketentuan  ini 
meliputi promosi dan demosi hakim. 
Angka 4 
Pasal 13 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup jelas. 
Huruf b 
Cukup jelas. 
Huruf c 
Cukup jelas. 
Huruf d 
Cukup jelas. 
Huruf e 
Cukup jelas. 
Huruf f 
Pendidikan  hakim  diselenggarakan  bersama  oleh 
Mahkamah Agung  dan perguruan tinggi negeri agama 
atau swasta yang terakreditasi A  dalam jangka waktu 
yang  ditentukan  dan  melalui  proses  seleksi  yang 
ketat. 
Huruf g 
Cukup jelas. 
Huruf h 
Cukup jelas. 
Huruf i 
Cukup jelas. 
Huruf j 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Angka 5  
Pasal 13A 
Cukup jelas. 
 Pasal 13B . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 6 - 
Pasal 13B 
Cukup jelas. 
Angka 6 
Pasal 14 
Cukup jelas. 
Angka 7 
Pasal 15 
Cukup jelas. 
Angka 8 
Pasal 18 
Cukup jelas. 
Angka 9 
Pasal 19 
Ayat (1) 
Cukup jelas.  
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Cukup jelas. 
Ayat (5) 
Cukup jelas. 
Ayat (6) 
Cukup jelas. 
Ayat (7) 
Yang  dimaksud  “dengan  peraturan  perundang-undangan” 
adalah  Undang-Undang  Nomor  22  Ta hun  2004  tentang 
Komisi  Yudisial dan  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 
tentang  Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 
Angka 10 
Pasal 20 
Cukup jelas. 
 Angka 11 . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 7 - 
Angka 11 
Pasal 21 
Ayat (1) 
Pemberhentian  sementara  dalam  ketentuan  ini,  selain 
yang  dimaksud  dalam  Undang-Undang  Nomor  43  Tahun 
1999  tentang  Pokok-Pokok  Kepegawaian  adalah  hukuman  
jabatan  yang  dikenakan  kepada  seorang  hakim  untuk 
tidak  memeriksa  dan  mengadili  perkara  dalam  jangka  
waktu tertentu. 
Ayat (1a) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Angka 12 
Pasal 24 
Ayat (1)  
Cukup jelas. 
Ayat (2)  
Cukup jelas. 
Ayat (3)  
Cukup jelas. 
Ayat (4)  
Huruf a  
Cukup jelas. 
Huruf b 
Cukup jelas. 
Huruf c 
Yang  dimaksud  dengan  “sarana  transportasi”  adalah 
kendaraan  bermotor  roda  empat  beserta  
pengemudinya atau  sarana  lain  yang  memungkinkan 
seorang hakim menjalankan tugas-tugasnya. 
Ayat (5)  
Yang  dimaksud  dengan  “jaminan  keamanan  dalam 
melaksanakan  tugasnya”  adalah  hakim  diberikan 
penjagaan  keamanan  dalam  menghadiri  dan  memimpin 
persidangan . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 8 - 
persidangan.  Hakim  harus  diberikan  perlindungan 
keamanan  oleh  aparat terkait yakni aparat  kepolisian  agar 
hakim  mampu  memeriksa,  mengadili,  dan  memutus 
perkara secara baik dan  benar  tanpa  adanya  tekanan atau 
intervensi dari pihak manapun.    
Ayat (6)  
Cukup jelas. 
Angka 13 
Pasal 27 
Cukup jelas. 
Angka 14 
Pasal 30 
Cukup jelas. 
Angka 15 
Pasal 35 
Huruf a 
Cukup jelas. 
Huruf b 
Cukup jelas. 
Huruf c 
Cukup jelas. 
Huruf d 
Yang  dimaksud  dengan  “pejabat  peradilan  yang  lain” 
adalah  sekretaris,  wakil  sekretaris,  wakil  panitera, 
panitera  muda,  panitera  pengganti,  juru  sita,  juru  sita 
pengganti, dan pejabat struktural lainnya. 
Angka 16 
Pasal 38A 
Cukup jelas. 
Pasal 38B 
Cukup jelas. 
Angka 17 
Pasal 39 
Ayat (1) 
Huruf a 
Cukup jelas. 
 
 Huruf b . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 9 - 
Huruf b 
Cukup jelas. 
Huruf c 
Cukup jelas. 
Huruf d 
Cukup jelas. 
Huruf e 
Yang  dimaksud  dengan  “pendidikan  menengah” 
adalah  sekolah  menengah  atas  (SMA),  madrasah 
aliyah  (MA),  sekolah  menengah  kejurua n  (SMK),  dan 
madrasah  aliyah  kejuruan  (MAK),  atau  bentuk  lain 
yang sederajat. 
Huruf f 
Cukup jelas. 
Huruf g 
Cukup jelas. 
Ayat 2 
Cukup jelas. 
Angka 18 
Cukup jelas. 
Angka 19 
Pasal 45 
Cukup jelas. 
Angka 20 
Pasal 46 
Cukup jelas. 
Angka 21 
Pasal 53 
Cukup jelas. 
Angka 22 
Pasal 60A 
Cukup jelas. 
 
 Pasal 60B . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 10 - 
Pasal 60B 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3)  
Yang  dimaksud  dengan  “kelurahan”  dalam  ketentuan  ini 
termasuk desa, banjar, nagari, dan gampong. 
Pasal 60C 
Ayat (1)  
Cukup jelas. 
Ayat (2)  
Bantuan  hukum  yang  diberikan  secara  cuma-cuma 
termasuk biaya eksekusi. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Angka 23 
Pasal 64A 
Ayat (1)  
Cukup jelas. 
Ayat (2)  
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Dalam  hal  salinan  putusan  tidak  disampaikan,  ketua 
pengadilan  yang  bersangkutan  dikenai  sanksi 
administratif  berupa  teguran  tertulis  dari  Ketua 
Mahkamah Agung. 
Yang  dimaksud  dengan  “peraturan  perundang-undangan” 
adalah  Undang-Undang  Nomor  14  Ta hun  2008  tentang 
Keterbukaan Informasi Publik. 
Angka 24 
Pasal 91A 
Ayat (1) 
Cukup jelas. 
 Ayat (2) . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 11 - 
Ayat (2) 
Cukup jelas. 
Ayat (3) 
Cukup jelas. 
Ayat (4) 
Biaya  Kepaniteraan  yang  masuk  penerimaan  negara  
bukan  pajak  adalah  sebagaimana  diatur  dalam  Peraturan 
Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008. 
Ayat (5) 
Cukup jelas. 
Ayat (6) 
Cukup jelas. 
Pasal 91B 
Cukup jelas. 
Pasal II 
     Cukup jelas. 
 
 
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5078 
 
 
 Salinan sesuai dengan aslinya 
SEKRETARIAT NEGARA RI 
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan 
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, 
 
 
 
 
 Wisnu Setiawan 
sesuai dengan aslinya
