Powered By Blogger

SETUJUKAH GUBERNUR KE BAWAH DIPILIH DPRD

belajar sadar diri terhadap aturan hukum Tuhan m,aupun Negara

Jumat, 29 Juli 2011

hukumria: nafkah wanita nuyus

hukumria: nafkah wanita nuyus

susahnya menjadi orang sadar hukum!tapi enak jika sadar itu

hukumria: nafkah wanita nuyus

hukumria: nafkah wanita nuyus

susahnya menjadi orang sadar hukum!tapi enak jika sadar itu

nafkah wanita nuyus

susahnya menjadi orang sadar hukum!tapi enak jika sadar itu


Oleh: syd

1. Pengertian dan Dasar Hukum Nafkah
Perbincangan mengenai hak ataupun kewajiban yang bersifat materi, seperti nafkah dibahas dalam fiqh sebagai bagian dari kajian fiqh keluarga (al-ahwal al-syakhshiyah). Secara etimologi, nafkah berasal dari bahasa Arab yakni dari suku kata anfaqa – yunfiqu- infaqan (انفق- ينفق- انفاقا )[1] . Dalam kamus Arab-Indonesia, secara etimologi kata nafkah diartikan dengan “ pembelanjaan[2]. Dalam tata bahasa Indonesia kata nafkah secara resmi sudah dipakai dengan arti pengeluaran.[3] Syamsuddin Muhammad ibn Muhammad al-Khatib al-Syarbaini membatasi pengertian nafkah dengan :[4]
هو الاخرا ج و لايستعمل ا لا فى الخيـر
“Sesuatu yang dikeluarkan dan tidak dipergunakan kecuali untuk sesuatu yang baik”
Secara terminologi, nafkah diartikan secara beragam oleh para ulama fiqh, misalnya Badruddin al-Aini[5] mendefenisikan nafkah dengan :[6]
عبا رة عن الا د رار على الشئ بما به بقاؤ ه
“Ibarat dari mengalirnya atas sesuatu dengan apa yang mengekalkannya”.
Dalam kitab-kitab fiqh pembahasan nafkah selalu dikaitkan dengan pembahasan nikah, karena nafkah merupakan konsekwensi terjadinya suatu aqad antara seorang pria dengan seorang wanita. (tanggung jawab seorang suami dalam rumah tangga/keluarga), sebagaimana yang diungkapkan oleh al- Syarkawi :[7]
طمام مقدر لزوجة وخادمها على زوج ولغيرهما من اصل وفرع ورقيق وحيوا ن
ما يكفيه
“Ukuran makanan tertentu yang diberikan (menjadi tanggungan) oleh suami terhadap isterinya, pembantunya, orang tua, anak budak dan binatang ternak sesuai dengan kebutuhannya” .

Defenisi yang dikemukakan oleh al-Syarkawi di atas belum mencakup semua bentuk nafkah yang dijelaskan dalam ayat dan sunnah Rasul. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pengertian nafkah sebagai berikut :[8]
هي كفاية من يمو نه من الطعام والكسوة والسكني
“Yaitu mencukupi kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya berupa makanan, pakaian dan tempat tinggal”.
Mencermati beberapa definisi serta batasan tersebut di atas dapat dipahami, bahwa nafkah itu adalah pengeluaran yang biasanya dipergunakan oleh seseorang untuk orang yang menjadi tanggungannya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik berupa pangan, sandang ataupun papan dan lainnya dengan sesuatu yang baik.
Adapun dasar hukum tentang eksistensi dan kewajiban nafkah terdapat dalam beberapa ayat maupun hadis Rasulullah, diantaranya adalah:
1.Surat al-Thalaq (7) :
لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما ءاتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ما ءاتاها سيجعل الله بعد عسر يسرا (الطلاق : 7)
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan (kekurangan) rezkinya hendaklah memberi nafkah sesuai dengan apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, Allah tidak memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang diberikan Allah. Semoga Allah akan memberikan kelapangan setelah kesempitan”. [9]
Ayat di atas tidak memberikan ketentuan yang jelas dan pasti mengenai berapa besarnya ukuran nafkah seorang suami kepada isteri baik berupa batas maksimal maupun batas minimal. Tidak adanya ketentuan yang menjelaskan berapa ukuran nafkah secara pasti, justru menunjukkan betapa fleksibelnya Islam dalam menetapkan aturan nafkah.
Al-Qurthubi berpendapat bahwa firman Allah ( لينفق ) maksudnya adalah; hendaklah suami memberi nafkah kepada isterinya, atau anaknya yang masih kecil menurut ukuran kemampuan baik yang mempunyai kelapangan atau menurut ukuran miskin andaikata dia adalah orang yang tidak berkecukupan. Jadi ukuran nafkah ditentukan menurut keadaan orang yang memberi nafkah, sedangkan kebutuhan orang yang diberi nafkah ditentukan menurut kebiasaan setempat. Sedangkan yang dimaksud dengan لينفق ذو سعة من سعته adalah bahwa perintah untuk memberi nafkah tersebut ditujukan kepada suami bukan terhadap isteri. Adapun maksud ayat لا يكلف الله نفسا الا مأ تا ها adalah bahwa orang fakir tidak dibebani untuk memberi nafkah layaknya orang kaya dalam memberi nafkah.[10]
Sedangkan Muhammad Ali as - Sayis berpendapat bahwa ayat لا يكلـــف الله نفسـا الا مأ تا ها mengungkapkan bahwa tidak berlaku fasakh disebabkan karena suami tidak sanggup memberi nafkah kepada isterinya. Sebab ayat ini mengandung maksud bahwa bila seseorang tidak sanggup memberi nafkah karena kondisinya yang tidak memungkinkan disebabkan kemiskinannya, Allah SWT tidak memberatkan dan membebaninya supaya memberi nafkah dalam kondisi tersebut.[11]
2. Surat at-Thalaq ayat 6 :
اسكنوهن من حيث سكنتم من وجد كم ولاتضا روهن لتضيقوا عليهن وان كن أولات حمل فأنفقوا عليهن حتى يضعن حملهن فاِن ا رضعن لكم فأتوهن أجورهن وأتمروا بينكم بمعروف واِن تعاسرتم فستر ضع له اخرى (الطلاق : 6)
“Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka karena ingin utuk menyempitkan mereka. Jika mereka hamil berikan mereka belanja sampai lahir kandungan mereka. Jika mereka menyusukan untukmu (anakmu) berilah upah (imbalannya). Bermusyawarahlah kamu dengan sebaik-baiknya.Tetapi jika kamu kepayahan hendaklah (carilah) perempuan lain yang akan menyusukannnya”.[12]
Ayat ini tampak merinci lebih jauh hak isteri yang menjadi tanggung jawab suami. Berdasarkan kata askinu dapat dimengerti suami wajib memberikan tempat tinggal kepada isteri yang telah ditalak baik talak raj’i, bain, baik hamil ataupun tidak.[13]
3. Hadis Rasulullah SAW. Dari Aisyah RA :
حدثني علي بن حجر السعدي حدثنا علي بن مسهر عن هشام بن عروة عن أبيه عن عائشة قالت دخلت هند بنت عتبة امرأة أبي سفيان على رسول الله صلى اللهم عليه وسلم فقالت يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح لا يعطيني من النفقة ما يكفيني ويكفي بني إلا ما أخذت من ماله بغير علمه فهل علي في ذلك من جناح فقال رسول الله صلى اللهم عليه وسلم خذي من ماله بالمعروف ما يكفيك ويكفي بنيك (رواه المسلم).[14]
“Telah menceritakan kepadaku Ali bin Hujrin al-Sa’di, telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushar dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari Aisyah beliau berkata:” Hindun putri ‘Utbah isteri Abu Sufyan masuk menghadap Rasulullah SAW seraya berkata : Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak memberikan saya nafkah yang cukup untuk saya dan anak-anakku selain apa yang saya ambil dari sebagian hartanya tanpa setahunya. Apakah saya berdosa karena perbuatanku itu ? Lalu Rasul Saw. bersabda: “Ambillah olehmu sebagian dari hartanya dengan cara yang baik secukupnya untukmu dan anak-anakmu.”
4.Hadis dari Jabir ra :
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة وإ سحق بن إبراهيم جميعا عن حاتم قال أبو بكر حدثنا حاتم بن إسمعيل المدني عـن جعفر بن محمد عـن أبيه عـن جا بر بن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ... ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعـروف.... (رواه المسلم) [15]
“Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Ishak bin Ibrahim yang semuanya dari Hatim, Abu Bakar berkata: telah menceritakan kepada kami Hatim bin Ismail al-Madani dari Ja’far bin Muhammad dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah dari Nabi Saw. Beliau bersabda : …, mereka (isteri) berhak mendapatkan dari kamu sekalian, berupa makanan dan pakaian dengan cara yang baik”…. (HR. Muslim)
Keseluruhan ayat dan hadis di atas merupakan dalil wajib nafkah, dan hanya berbicara tentang nafkah secara mutlak tanpa memberi batasan dan ukuran. Jika Allah SWT dan Rasulullah SAW. mensyari’atkan suatu hukum tapi tidak menjelaskan rinciannya maka dikembalikan kepada ‘urf setempat dan ijtihad,[16] terutama hadis dari ‘Aisyah yang berasal dari Hindun di atas. Hadis tersebut jelas menyatakan bahwa ukuran nafkah itu relatif, jika kewajiban nafkah mempunyai batasan dan ukuran tertentu Rasulullah SAW. akan memerintahkan Hindun untuk mengambil ukuran nafkah yang dimaksud, tetapi pada saat itu Rasulullah hanya memerintahkan Hindun untuk mengambil sebagian harta suaminya dengan cara baik dan secukupnya.
Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidayah al Mujtahid mengemukakan pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah tentang ukuran nafkah ini bahwa besarnya nafkah tidak ditentukan oleh syara’, akan tetapi berdasarkan keadaan masing-masing suami-isteri dan hal ini akan berbeda–beda berdasarkan perbedaan tempat, waktu dan keadaan. [17]
Berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan di atas baik al-Quran maupun Sunnah dapat dipahami bahwa jika telah terjadi akad nikah maka suami wajib memberi nafkah untuk isterinya. Berkenaan dengan hal ini Ibn Hazm dari kalangan Zahiri berpendapat bahwa ikatan suami isteri sendirilah yang menjadi sebab diperolehnya hak nafkah. Jadi selama ada ikatan suami isteri selama itu pula ada hak nafkah. Jadi kewajiban tersebut lahir dikarenakan adanya ikatan perkawinan, dan isteri berhak mengambil sebagian dari harta suaminya dengan cara yang baik, sekalipun tidak diketahui suaminya. Perbuatan tersebut dibolehkan andaikata dilakukan ketika suami melalaikan kewajiban yang menjadi hak isterinya.
Akan tetapi ulama fiqh sepakat bahwa nafkah minimal yang harus dikeluarkan adalah yang dapat memenuhi kebutuhan pokok, yakni makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Untuk kebutuhan tempat tinggal menurut ulama fiqh, tidak harus milik sendiri, melainkan boleh dalam bentuk kontrakan, apabila tidak mampu untuk memiliki sendiri.
2. Syarat-syarat Wajib Nafkah
Perkawinan yang telah memenuhi rukun dan syarat menyebabkan timbulnya hak dan kewajiban. Artinya isteri berhak mendapatkan nafkah sesuai dengan ketentuan ayat dan hadis sebagaimana telah penulis kemukakan sebelumnya. Para ulama sepakat bahwa setelah terjadinya akad nikah isteri berhak mendapatkan nafkah. Hanya saja ulama berbeda pendapat ketika membahas apakah hak nafkah itu diperoleh ketika terjadi akad atau setelah tamkin atau ketika isteri telah pindah ke tempat kediaman suami.
Syafi’iyah dalam qaul qadim dan Hanafiyah berpendapat bahwa hak nafkah isteri terjadi tatkala terlaksananya akad, demikian juga dengan Ibn Hazm dari golongan Zahiri. Ibn Hazm mengungkapkan bahwa adanya ikatan suami isteri sendirilah yang menjadi sebab diperolehnya hak nafkah. Dengan demikian selama ikatan pernikahan tidak putus maka hak nafkah bagi isteri tidak akan berakhir. Ibn Hazm menambahkan bahwa suami berkewajiban menafkahi isterinya sejak terjadinya akad nikah, baik suami mengajaknya hidup serumah atau tidak, bahkan berbuat nusyus sekalipun. Mereka berargumentasi bahwa tidak satupun ayat yang menyatakan bahwa nusyusnya isteri menjadi sebab tidak diperolehnya hak nafkah.
Sedangkan Syafi’i dalam qaul jadid, Malikiyah dan Hanabilah mengungkapkan bahwa isteri belum mendapatkan hak nafkahnya melainkan setelah tamkin, seperti isteri telah menyerahkan diri kepada suaminya. Sementara itu sebagian ulama mutaakhirin menyatakan bahwa isteri baru berhak mendapatkan hak nafkah ketika isteri telah pindah ke rumah suaminya.
Terjadinya perbedaan pendapat ulama dalam hal kapankah seorang isteri berhak atas nafkah dari suaminya dikarenakan ayat dan hadis tidak menjelaskan secara khusus syarat-syarat wajib nafkah isteri. Oleh karena itu tidak ada ketentuan secara khusus dari nabi SAW mengenai hal tersebut sehingga di kalangan ulama terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan syarat-syarat wajibnya seseorang isteri mendapatkan nafkah.
Perbedaan pemahaman para ulama dalam menyikapi persoalan ini akan mempunyai konsekuensi lebih lanjut ketika mengkaji persoalan gugurnya hak nafkah sebagaimana akan dijelaskan setelah ini.
Menurut jumhur ulama suami wajib memberikan nafkah isterinya apabila :[18]
1. Isteri menyerahkan diri kepada suaminya sekalipun belum melakukan senggama.
2. Isteri tersebut orang yang telah dewasa dalam arti telah layak melakukan hubungan senggama
3. perkawinan suami isteri itu telah memenuhi syarat dan rukun dalam perkawinan
4. Tidak hilang hak suami untuk menahan isteri disebabkan kesibukan isteri yang dibolehkan agama.
Maliki membedakan syarat wajib nafkah isteri setelah dan belum disenggamai. Syarat nafkah sebelum disenggamai adalah :[19]
a. Mempunyai kemungkinan untuk disenggamai. Apabila suami mengajak isterinya melakukan hubungan suami isteri namun isteri menolak, maka isteri tidak layak untuk menerima nafkah.
b. Isteri layak untuk disenggamai. Apabila isteri belum layak disenggamai seperti masih kecil maka ia berhak menerima nafkah.
c. Suami itu seorang laki-laki yang telah baligh. Jika suami belum baligh sehinggga belum mampu melakukan hubungan suami isteri secara sempurna maka ia tidak wajib membayar nafkah.
d. Salah seorang suami isteri tidak dalam keadaan sakratulmaut ketika diajak senggama.
Selanjutnya syarat wajib nafkah bagi isteri yang telah disenggamai adalah pertama : Suami itu mampu. Apabila suami tidak mampu maka selama ia tidak mampu maka ia tidak wajib membayar nafkah isterinya. Kedua : Isteri tidak menghilangkan hak suami untuk menahan isteri dengan alasan kesibukan isteri yang dibolehkan agama.
3. Gugurnya Hak Nafkah
Konsekuensi akad perkawinan yang sah suami berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Hak mendapatkan nafkah isteri hanya didapat apabila syarat-syarat untuk mendapatkan hak seperti diuraikan diatas telah terpenuhi, serta isteri terhindar dari hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah tersebut.
Berkaitan dengan gugurnya hak nafkah berikut ini akan dijelaskan beberapa hal yang menyebabkan gugurnya hak nafkah isteri. Adapun penyebab gugur hak nafkah tersebut adalah sebagai berikut :
a. Nusyuz.
Kata nusyuz merupakan bentuk jamak ( plural ) dari nusyz yang secara etimologi berarti dataran tanah yang lebih tinggi atau tanah bukit[20], sesuai dengan pengertian ini, maka wanita yang nusyuz menurut pengertian bahasa berarti wanita yang merasa lebih tinggi dari suaminya, sehingga tidak mau terikat dengan kewajiban patuh terhadap suami. Dari pengertian ini pula selanjutnya dipahami pengertian nusyuz secara umum yaitu sikap angkuh, tidak patuh seseorang dengan tidak bersedia menunjukkan loyalitas kepada pihak yang wajib dipatuhinya.
Kata nusyuz secara resmi telah dipakai dalam tata bahasa Indonesia yang secara terminologi berarti : perbuatan tidak taat dan membangkang seorang isteri terhadap suaminya ( tanpa alasan ) yang dibenarkan hukum ( Islam )[21]
Senada dengan pengertian tersebut adalah pengertian yang dikemukakan yang dikemukakan Badruddin al `Aini
الما نعة نفسهاعن زوجها بغير حق[22]
"Isteri melarang dirinya dari suaminya tanpa alasan yang hak".
Wahbah al- Zuhaily mendefinisikan sebagai berikut :
معصية المرأ ة لزوجها فيماله عليهامما أوجبه له عقد الزواج [23]
"Kedurhakaan perempuan kepada suaminya dalam apa saja yang menjadi hak suaminya dan menjadi kewajiban Isteri sebagai konsekuensi akad perkawinan".
Abu Yahya Zakariya al-Anshari berpendapat bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah keluarnya isteri dari ketaatan kepada suaminya, seperti; keluar rumah tanpa izin suaminya, tidak mau membukakan pintu bagi suaminya, atau tidak mau menyerahkan dirinya”[24].
Penekanan kedurhakaan atau nusyuz dalam pengertian terminologi diatas adalah kepada sikap isteri, padahal kalau memperhatikan pengertian yang umum maka nusyuz itu berlaku juga untuk suami seperti dikemukakan Ibnu Mansur dalam Lisan al `Arabi :
كراهة كل وا حد منهما صاحبه [25]
“Rasa benci salah satu pihak terhadap pasangannya “.
Jadi nusyuz adalah ketidakpatuhan salah satu pasangan, terhadap apa yang seharusnya dipatuhi atau bisa juga dikatakan enggan tidak taatnya suami atau isteri kepada pasangannya dengan alasan yang tidak dibenarkan oleh Syara’.
Mencermati pengertian terminologi tersebut diatas maka antara pengertian etimologi tidak jauh berbeda dengan pengertian terminologi tersebut di atas. Sikap nusyuz yang muncul dari suami dan yang muncul dari isteri pada intinya adalah sebuah sikap antipati yang tidak beralasan terhadap pasangannya dan didasarkan atas kurang atau hilangnya rasa kasih sayang. namun nusyuz dari pihak suami atau nusyuz pihak isteri mungkin memperlihatkan manifestasi yang berbeda. Dalam al-Quran terdapat dua pembicaraan tentang nusyuz yang dihubungkan dengan suami dan nusyuz yang dihubungkan dengan isteri. Adapun ayat yang berhubungan dengan nusyuz suami terdapat dalam surat al Nisa ` ( 4 : 128 ) :
وان امرا ة خافت من بعلها نشو زا او اعراضا فلاجناح عليهما ا ن يصلحا بينهما صلحا, و الصلح خير واحضر ت الانفس الشح وان تحسنوا وتتقوا فا ن الله كان بما تعملون خبيرا
( النساء: 128)
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebanar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik ( bagi mereka ) walaupun menurut tabiatnya manusia itu kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirinya ( dari nusyuz dan sikap tidak acuh ), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" .[26]
Ayat tersebut menjelaskan hukum yang berhubungan dengan sikap nusyuz yang muncul dari pihak suami. Yang dimaksud dengan nusyuz dalam ayat tersebut seperti dikemukakan al-Maraghi adalah sikap suami yang menjengkelkan atau menyakiti isteri dalam berbagai bentuknya seperti melarang isteri untuk mendekatinya, melarang menggunakan nafkahnya, tidak memperlihatkan kasih sayang sebagaimana layaknya suami isteri atau menyakiti dengan memaki, memukul dan sebagainya. [27]
Tingkah laku seperti tersebut diatas menurut Satria Efendi M Zein belum dapat dianggap sebagai perbuatan nusyuz kecuali telah diketahui bahwa hal itu dilakukan suami karena ia tidak lagi menyenangi isterinya atau tanpa alasan yang dapat dibenarkan bukan disebabkan hal-hal lain yang mungkin berpengaruh kepada sikap dalam rumah tangga [28]. Suami tidak lagi mencintai isterinya disebabkan berbagai hal. Antara lain karena isteri sudah tua, atau bentuk fisiknya yang sudah tidak lagi menarik perhatian suami, atau suami tertarik kepada wanita lain.
Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa untuk menyelesaikan nusyuz suami adalah dengan mengadakan perdamaian antara suami isteri. Untuk mencapai tujuan ini masing-masing hendaklah bersedia mengalah dari haknya , seperti yang dilakukan oleh suami isteri pada saat ayat diturunkan.[29]8 Kasus nusyuz dalam riwayat tersebut ternyata penyelesaiannya cukup diantara suami isteri saja . Namun apabila upaya damai dengan merelakan sebagian hak giliran misalnya tidak membawa perdamaian, maka langkah yang dapat ditempuh isteri adalah menasehati suami, atau memperlihatkan keengganan ketika diajak tidur bersama karena seperti yang dikemukakan Aziz Dahlan (ed) ketentuan hokum dalam ayat al-Quran surat al- Nisa` (4 : 34 ) tentang tahapan pendidikan nusyuz isteri juga berlaku terhadap suami yang nusyuz. Apabila suami memang tidak dapat disadarkan lagi bahkan menganiaya isterinya maka Islam memberi jalan keluar bagi para isteri melalui khulu`22 Penjelasan mengenai nusyuz yang dihubungkan dengan isteri terdapat dalam al-Quran surat al-Nisa` ( 4 : 34 ) :
و التى تخافو ن نشوز هن فعظو هن و اهحرو هن فى المضاجع و ا ضر بو ا هن فا ن ا طعنكم فلا تبغو ا عليهن سبيلا ا ن الله كا ن عليا كبير ا (النساء : 34)
“Wanita – wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya , maka nasehatilah mereka, dan pisahkanlah mereka ditempat tidur dan pukulah mereka . Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untukmenyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan lagi Maha Mengenal ( al- Quran surat al-Nisa` 4 : 34 )”
Ayat tersebut mengatur cara mengatasi nusyuz yang muncul dari pihak isteri . Bentuk nusyuz yang muncul dari pihak isteri seperti yang dikemukakanoleh Wahbah al – Zuhaily adalah berupa pembangkangan isteri terhadap suaminya tanpa alasan yang dapat dibenarkan misalnya pergi meninggalkan rumah tempat tinggal bersama tanpa izin suami, melarang suaminya masuk kerumah (isteri) [30] . Atau dengan kata lain nusyuz adalah
sikap membangkang isteri terhadap suami dalam hal-hal yang merupakan kewajibannya.
Sama seperti nusyuz pada suami maka dalam nusyuz isteri itu sikap membangkang itu muncul bukan karena alasan yang diterima syara` seperti karena disakiti suami, tidak dilunasi mahar, atau tidak diberi nafkah. Untuk memastikan bahwa pembangkangan yang muncul dari isteri terlebih dahulu diketahui penyebabnya . Jika ternyata tanpa alasan yang dibenarkan syara` maka sikap itu dipandang sebagai perbuatan nusyuz.
Al- Quran mengajarkan kepada suami yang mandapatkan isterinya nusyuz agar mencari penyelesaian secara bijaksana . Dalam ayat tersebut al- Quran tidak mengajarkan untuk menceraikan isterinya, tetapi memberi petunjuk langkah yang harus ditempuh suami . Terdapat tiga tingkatan cara mengatasi perbuatan nusyuz isteri yaitu :
1). Memberikan nasehat .
Seorang suami yang melihat pada diri isterinya tanda- tanda nusyuz , dan setelah dapat memastikan bahwa itu gejala nusyuz , hendaklah ia memulai dengan nasehat kepada isterinya . Nasehat tersebut disesuikan dengan keadaan isteri , dan nasehat tersebut berupa peringatan tentang kewajiban- kewajiban seorang isteri terhadap suaminya, serta sebelum menasehati suami telah mengetahui sebab-sebab isteri bertingkahlaku seperti itu.[31]
2). Meninggalkan isteri di tempat tidur
Jika nasehat dengan lisan tidak mencukupi, maka hendaklah suami mencoba jalan lain dengan meninggalkannya ditempat tidur. Menurut Ibnu Abbas seperti diungkapkankan oleh al–Qurtubi bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut bukanlah berpisah kamar tidur , melainkan tidur bersama isteri pada satu tempat tidur, namun suami tidak mengacuhkan isterinya itu, tidak mengajaknya berbicara , atau membelakanginya [32]. Berbeda dengan hal tersebut , ahli tafsir bernama Mujahid berpendapat bahwa yang dimaksud dengan berpisah tempat tidur adalah suami tidak lagi satu kamar tidur dengan isterinya. Al- Qurtubi dalam komentarnya mengatakan pendapat yang terakhir lebih kuat, karena isteri dengan ditinggalkan suami di tempat tidur akan kelihatan apakah masih mencintai suaminya atau tidak. Jika ia masih mencintai suaminya dengan ditinggalkan akan sadar dan merubah sikap. Sebaliknya kalau ia benar tidak senang kepada suaminya maka perbuatan nusyuznya akan berlanjut atau bertambah parah , dan itu berarti perbuatan nusyuz benar-benar terjadi.
3). Dengan cara kekerasan
Bertindak secara lebih keras terhadap isteri yang sedang dalam keadaan nusyuz dalam bahasa al-Quran dengan memakai idlribuhunna (اضربواهن) yang bila diterjemahkan secara harfiah berarti pukullah mereka. Pukullah yang terdapat dalam ayat tersebut disampaikan dalam bentuk perintah ( al-amru ) , apabila diartikan secara harfiah menurut bentuk kata itu , berarti bahwa suami diperintah untuk memukul isterinya yang dalam keadaan nusyuz apabila berbagai upaya lain tidak berhasil mengatasinya. Pemahaman seperti ini membawa kepada kesimpulan bahwa memukul isteri yang dalam keadaan nusyuz hukumnya wajib. Pemahaman seperti ini merupakan kesimpulan yang keliru , karena seperti disimpulkan Ibnu Katsir perintah memukul dalam ayat bermakna pembolehan ( mubah ) . Apabila makna memukul adalah mubah, maka ayat memberi petunjuk tentang hak pilih seorang apakah ia akan melakukan tindakan tindakan lebih keras kepada isterinya karena mengandung manfaat atau tidak akan melakukannya karena berakibat mudharat. Ayat tersebut tidak dapat diberlakukan secara umum . Tindakan itu hanya dilakukan apabila dengan pemukulan itu mungkin dapat mencegah bahaya yang lebih besar yang akan menimpa rumah tangga.
Adapun pemukulan yang dibenarkan hanyalah pemukulan yang bermaksud memberi pelajaran bukan pelampiasan rasa marah . Menurut Ibnu Abbas pemukulan yang dibolehkan dalam ayat tersebut adalah pemukulan dengan memakai kayu siwak ( kayu untuk bersugi ) yang menggambarkan pukulan tidak menyakitkan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ayat tersebut bukan pemukulan secara phisik tetapi dalam bentuk tindakan yang lebih tegas dari suami untuk memperbaiki isterinya.
Apabila setelah melalui tahapan pendidikan yang diajarkan al-Quran tersebut isteri tetap nusyuz , maka selama nusyuz tersebut gugur hak nafkahnya , demikian pendapat Ulama mazhab pada umumnya , namun dikalangan ulama terdapat perbedaan dalam melihat keriteria dalam menetapkan nusyuz dikalangan ulama Hanafi nusyuz itu dilihat dari hilangnya menahan isteri [33].Sedang dikalangan Syafi`iyah dan Hanabilah dampak dari nusyuz adalah tidak terlaksananya tamkin (kemungkinan isteri berperan sebagai isteri ) [34]
b. Wafat salah seorang suami isteri.
Nafkah isteri gugur sejak terjadi kematian suami, kalau suami meninggal sebelum memberikan nafkah maka isteri tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya. Dan jika isteri yang meninggal dunia terlebih dahulu, maka ahli warisnya tidak dapat mengambil nafkah dari harta suaminya. [35]
c. Murtad.
Apabila seorang isteri murtad maka gugur hak nafkahnya karena dengan keluarnya isteri dari Islam mengakibatkan terhalangnya suami melakukan senggama dengan isteri tersebut.[36] Jika suami yang murtad, maka hak nafkah isteri tidak gugur karena halangan hukum untuk melakukan persenggamaan timbul dari pihak suami padahal kalau ia mau menghilangkan halangan hukum tersebut dengan masuk kembali ke dalam Islam, dia bisa melakukannya. [37]
d. Talak.
Para ahli fiqh sepakat bahwa perempuan yang ditalak raj’i masih berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal, hanya saja mereka berbeda pendapat tentang nafkah perempuan yang ditalak tiga. [38] Imam Malik, Syafi,i dan Ahmad, berpendapat bahwa perempuan yang ditalak tiga tidak mendapat nafkah, namun menurut Malik dan Syafi,i ia masih berhak mendapatkan tempat tinggal. Sedangkan menurut Abu Hanifah isteri yang ditalak tiga masih berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.[39]
Berkaitan dengan talak, para ulama sepakat bahwa hak nafkah bagi isteri hanyalah selama isteri masih dalam masa iddah. Adapun setelah habis masa iddah tidak satu pun dalil yang mengungkapkan bahwa suami masih tetap berkewajiban memberi nafkah bekas isterinya. Hal ini menurut penulis bisa dipahami kenapa setelah habisnya masa iddah isteri tidak berhak lagi untuk menerima nafkah dari suami. Penulis berpandangan bahwa hal tersebut dikarenakan bahwa begitu terjadi perceraian dan habis masa iddah isteri antara suami isteri tidak terikat lagi oleh tali perkawinan, sehingga otomatis dengan lepasnya ikatan perkawinan dengan sendirinya terlepaslah kedua belah pihak dari keharusan untuk melakukan sesuatu yang merupakan hak atau kewajibannya.
Dari uraian serta penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hak seorang isteri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya menurut penulis erat sekali kaitannya dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang isteri berkaitan dengan hak yang diterimanya. Artinya bahwa memang salah satu konsekuensi dari terjadinya akad perkawinan adalah lahirnya hak dan kewajiban antara suami-isteri. Akan tetapi tidak berarti bahwa isteri dengan sendirinya dan secara otomatis menerima hak atas nafkahnya, karena hal itu berkaitan dengan kewajiban yang telah dilakukannya, sehingga ada keseimbangan antara hak dan kewajiban.

1. al- Munjid fi al – Lugat wa al-i`lam , Bairut, al-Maktabah al – Syirkiyah , 1986, hal 828
[2]Ahmad Warson Munawir, Kamus al Munawwir,Yogyakarta, Pondok Psantren al – Munawwir, 1984, hal 1548.

[3] Diknas ,Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta, Balai Pustaka, 2002, Edisi ketiga, hal 770.
[4] Syamsuddin Muhammad bin Muhamamd al-Khatin al-Syarbini, Mugni al-Muhtaj (Bairut: Dar-al-Kutub al-Ilmiyah, tt), Juz V, h. 151.

[5] Nama lengkapnya adalah Mahmud bin Ahmad bin Musa bin Ahmad bin Husein, bermazhab Hanafi

[6] Badruddin al-Aini, al-Binayah Syarah al-Hidayah (Beirut: Dar al-Kutub aI-Ilmiyah, 2000), Juz V, h. 659
[7] Al- Syarkawi, al- Syarkawi `ala al- Tahrir, al- Thaba`ah al Nasyr wa al-Tauzi`, tt, hal 345.
[8] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Suriah : Dar al-Fikr bi Damsyiq, 2002), juz. 10, hal.7348
[9] Departemen Agama RI, Op.cit, hal. 946
[10] Muhammad al-Qurtubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran (Beirut: Dar-al-Ihya li Tirkah al-Arabi, 1985), Juz XVIII, h. 170

[11] Muhammad Ali al-Sayyis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Terjemahan, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1984), h. 298
[12] Departemen Agama RI, Loc.cit.

[13] Muhammad Ali al-Sayis, , Loc.cit.

[14] al-Nawawi, Imam Muhiddin, Shahih Muslim, (Beirut : Darul Ma’rifah li al-Thaba’ah wa al-Nasyar wa al-Tauzi’, 1999), juz 12, h. 234.
[15] Ibid, juz. 8, hal. 413
[16] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Penerjemah; M.A. Abdurrahman, (Semarang, Asy-Syifa’, 1990), h. 462

[17] Ibid.
[18] Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, hal. 7374-7375
[19] Ibid, hal. 7376-7377
[20]Al-Munjid, Op.Cit,hal. 809

[21]Departemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia , Op.Cit.,hal 789.

[22] Badruddin al- `Aini, Op. Cit., hal . 666
[23] Wahbah al- Zuhaily, Op.cit. hal. 7364
[24] Abi Yahya Zakariya al- Anshari, Fath al-Wahab bi Syarhi Minhaj al Tulab, Singapura, Maktabah wa Mathba’ah Sulaiman Mar’i, t,th),Juz II, h. 63.
[25] Abu al-Fadl Jamaluddin Muhammad al- Iftiraqi al-Misri Ibn Mansur , Lisan al `Arabi, Jilid. 14, hal . 143.
[26] Departemen Agama RI, Op.cit, hal. 143
[27] Ahmad Mustafa Al- Maraghi, Tafsir al- Maraghi, (Bairut, Dar al Fikri, t.th), Juz 4, hal. 171

[28]Satria Efendi M. Zein, Analisis Yurisprodensi “Analisis Fiqh “ dalam Mimbar Hukum nomor 46 tahun XI 2000, Jakarta, Al- Hikmah, 2000, hal 101.
[29] Di antara riwayat tentang sebab turun ayat ini adalah: Riwayat Abu Daud dan al- Hakim yang bersumber daru Aisyah , dan diriwayatkan pula oleh al- Turmuzi, dari Ibnu Abbas bahwa ketika Saudah binti Za`mah sudah tua dan takut dicrai oleh Rasulullah Saw. ia berkata : hari giliranku aku hadiahkan kepada Aisyah maka turunlah ayat iniyang membolehkan tindakan Saudah binti Za`mah ( Lihat : Qamaruddin Saleh, Asbabun Nuzul, Bandung, Diponegoro, 1984, hal . 164. Riwayat Ibnu Uyainah dari al- Zuhry dari Sa`id bin Musayyab diceritakan bahwa seorang sahabat bernama Rafi` bin Khadij beristerikan bernama Khaulah binti Muhammad bin Musallamah . Pada suatu waktu, pasa diri Rafi` bin Khadij kelihatan oleh isterinya itu tanda- tanda yang menunjukkan bahwa suaminya itu tidak lagi seperti semula mancintai dirinya. Dalam sutu riwayat mengatakan bahwaa tanda-tanda seperti itu kelihatan setelah Rafi` bin Khadij menikah lagi dengan isteri kedua yang lebih muda, maka turun ayat. Dalam perdamaian bersama suaminya Khaulah binti Muhammad al- Maslamah merelakan sebagian hak (gilirannya) bersama suami untuk diberikan kepada isteri mudanya dengan syarat tidak dicerai ( lihat Al-Qurthubi, al- Jami` li ahkam al Quran , Juz 5, Bairut, Dar al Turas al `Arabi, 1985,hal 4014
[30] Wahbah al Zuhaily, Op.Cit, hal .779
[31] Satria Efendi M. Zein , Op.Cit
[32] Al- Qurthubi, Op.Cit, juz 5 ,hal 171.
[33] Badruddin al-`Aini, Op.Cit, hal .666, lihat juga Abi Bakar Muhammad bin Ahmad bin Sahal al- Sarakhzi, al Mabsuth, juz 5, Bairut, Dar al- Kutub, al Ilmiyah, 2001, cet 1 hal. 174.
[34] Syamsu al-Din Muhammad bin Muhammadal-Khatib al- Syarbaini, Op.Cit,hal 165, lihat jugaAbi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, Bairut, Dar al Kutub al Ilmiyah, tt, hal . 296.
[35] Wahbah al- Zuhaili, Op.Cit, hal . 7363

[36] Ibid, hal. 7366

[37] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 1985), jil. 2, hal. 173

[38] Ibid, hal. 337

Kamis, 28 Juli 2011

SEJARAH HALAL BI HALAL

Seorang budayawan terkenal Dr Umar Khayam (alm), menyatakan bahwa tradisi Lebaran merupakan terobosan akulturasi budaya Jawa dan Islam. Kearifan para ulama di Jawa mampu memadukan kedua budaya tersebut demi kerukunan dan kesejahteraan masyarakat. Akhirnya tradisi Lebaran itu meluas ke seluruh wilayah Indonesia, dan melibatkan penduduk dari berbagai pemeluk agama. Untuk mengetahui akulturasi kedua budaya tersebut, kita cermati dulu profil budaya Islam secara global. Di negara-negara Islam di Timur Tengah dan Asia (selain Indonesia), sehabis umat Islam melaksanakan salat Idul Fitri tidak ada tradisi berjabatan tangan secara massal untuk saling memaafkan. Yang ada hanyalah beberapa orang secara sporadis berjabatan tangan sebagai tanda keakraban.
Menurut tuntunan ajaran Islam, saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadan, melainkan kapan saja setelah seseorang merasa berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut. Bahkan Allah SWT lebih menghargai seseorang yang memberi maaf kepada orang lain (Alquran Surat Ali Imran ayat 134).
Budaya sungkem
Dalam budaya Jawa, seseorang “sungkem” kepada orang yang lebih tua adalah suatu perbuatan yang terpuji. Sungkem bukannya simbol kerendahan derajat, melainkan justru menunjukkan perilaku utama. Tujuan sungkem, pertama, adalah sebagai lambang penghormatan, dan kedua, sebagai permohonan maaf, atau “nyuwun ngapura”. Istilah “ngapura” tampaknya berasal dari bahasa Arab “ghafura”.
Para ulama di Jawa tampaknya ingin benar mewujudkan tujuan puasa Ramadan. Selain untuk meningkatkan iman dan takwa, juga mengharapkan agar dosa-dosanya di waktu yang lampau diampuni oleh Allah SWT. Seseorang yang merasa berdosa kepada Allah SWT bisa langsung mohon pengampunan kepada-Nya. Tetapi, apakah semua dosanya bisa terhapus jika dia masih bersalah kepada orangorang lain yang dia belum minta maaf kepada mereka?
Nah, di sinilah para ulama mempunyai ide, bahwa di hari Lebaran itu antara seorang dengan yang lain perlu saling memaafkan kesalahan masingmasing, yang kemudian dilaksanakan secara kolektif dalam bentuk halal bihalal. Jadi, disebut hari Lebaran, karena puasa telah lebar (selesai), dan dosa-dosanya telah lebur (terhapus).
Dari uraian di muka dapat dimengerti, bahwa tradisi Lebaran berikut halal bihalal merupakan perpaduan antara unsur budaya Jawa dan budaya Islam.
Sejarah halal bihalal
Sejarah asal mula halal bihalal ada beberapa versi. Menurut sebuah sumber yang dekat dengan Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I, yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam, dengan istilah halal bihalal. Kemudian instansi-instansi pemerintah/swasta juga mengadakan halal bihalal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama.
Sampai pada tahap ini halal bihalal telah berfungsi sebagai media pertemuan dari segenap warga masyarakat. Dan dengan adanya acara saling memaafkan, maka hubungan antarmasyarakat menjadi lebih akrab dan penuh kekeluargaan.
Karena halal bihalal mempunyai efek yang positif bagi kerukunan dan keakraban warga masyarakat, maka tradisi halal bihalal perlu dilestarikan dan dikembangkan. Lebih-lebih pada akhir-akhir ini di negeri kita sering terjadi konflik sosial yang disebabkan karena pertentangan kepentingan.
Makna Idul Fitri
Ada tiga pengertian tentang Idul Fitri. Di kalangan ulama ada yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada kesucian. Artinya setelah selama bulan Ramadan umat Islam melatih diri menyucikan jasmani dan rohaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT, Maka memasuki hari Lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin.
Ada yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada fitrah, atau naluri religius. Hal ini sesuai dengan Alquran Surat Al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang melakukannya menjadi orang yang takwa atau meningkat kualitas religiusitasnya.
Ada pula yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada keadaan di mana umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum siang hari seperti biasa. Di kalangan ahli bahasa Arab, pengertian ketiga itu dianggap yang paling tepat.
Dari ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki Idul Fitri umat Islam diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat kualitas religiusitasnya. Salah satu ciri manusia religius adalah memiliki kepedulian terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam Surat Al-Ma’un ayat 1 -3 disebutkan, adalah dusta belaka kalau ada orang mengaku beragama tetapi tidak mempedulikan nasib anak yatim. Penyebutan anak yatim dalam ayat ini merupakan representasi dari kaum yang sengsara.
Oleh karena itu dapat kita pahami, bahwa umat Islam yang mampu wajib memberikan zakat fitrah kepada kaum fakir miskin, dan pemberian zakat tersebut paling lambat sebelum pelaksanaan salat Idul Fitri. Aturan ini dimaksudkan, agar pada waktu umat Islam yang mampu bergembira ria merayakan Idul Fitri jangan ada orang-orang miskin yang sedih, atau sampai menangis, karena tidak ada yang dimakan.
Agama Islam sangat menekankan harmonisasi hubungan antara si kaya dan si miskin. Orang-orang kaya diwajibkan mengeluarkan zakat mal (harta), untuk dibagikan kepada delapan asnaf (kelompok), di antaranya adalah kaum fakir miskin.
Dari uraian di muka dapat disimpulkan, bahwa Idul Fitri merupakan puncak dari suatu metode pendidikan mental yang berlangsung selama satu bulan untuk mewujudkan profil manusia yang suci lahir batin, memiliki kualitas keberagamaan yang tinggi, dan memelihara hubungan sosial yang harmonis.
___________________________________

GAMBARAN SYURGA

IMPIAN gambaran SURGA
Syurga itu kayak apa?
menjawab soal syurga
seringkali para misionaris mempersoalkan syurga versi "Islam" yang menawarkan kenikmatan-kenikmatan yang memanjakan hawa nafsu ("kedagingan" menurut bahasa)
tak jarang tidak sekedar mempersoalkan namun banyak sekali artikel yang menyerang tentang masalah ini.
dalam hal ini saya coba menyampaikan jawaban pembuka dengan ilustrasi cerita yang menarik yang dibuat oleh seorang Muslim (sdr Archa,forum swaramuslim), yang menceritkan tentang "sorga Impian" menurut banyak orang
SURGA IMPIAN
Seorang Arab Badui bermimpi, diperlihatkan kepadanya gambaran surga. Si Arab betul-betul terpesona karena situasi yang terlihat memenuhi ‘dahaga terhadap kenikmatan’ dia sebagai manusia gurun, yang setiap hari melihat padang pasir dan batuan padas. Surga yang dilihatnya dalam mimpi berupa ‘jannah’, taman, kebun yang subur diisi pohon rindang, bunga yang harum dan embun dikala pagi. Dia menemukan banyak pohon buah-buahan siap dipetik, ada jeruk, apel, pepaya, semangka tergantung didahan yang merunduk seolah-olah mengundang untuk diraih. Tidak lupa didalam surga tersebut mengalir sungai-sungai nan jernih, alirannya menimbulkan suara gemercik yang menyegarkan.
Tatkala terbangun, si Arab merasa sangat bahagia dan dia bersyukur karena sebagai muslim Tuhannya telah memberikan gambaran surga begitu indah yang salah satunya tercantum dalam Al-Qur’an surat Al Baqarah 25 : “…..bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu,….”
Pada suatu kesempatan, si Arab datang ke Indonesia untuk berlibur, dari berbagai kunjungannya ke objek-objek wisata, dia menyempatkan diri mengunjungi satu taman bunga di puncak. Tentunya dia sangat terpesona karena hal ini tidak pernah dilihatnya dikampung halamannya. Dengan penuh rasa bahagia si Arab menyapa seorang bapak penjaga taman : “ Indah sekali taman ini, seperti gambaran surga yang pernah saya impikan..”
Penjaga taman berpaling dengan rasa ingin tahu : “bagaimana gambaran surga yang ada dalam mimpi Anda?” tanyanya kepada si Arab. Berceritalah si Arab tentang mimpinya, bagaimana surga yang di lihat itu penuh dengan bunga-bunga dan buah-buahan beserta sungai-sungai yang mengalir di dalamnya..
Mendengar cerita tersebut, penjaga taman terlihat tidak begitu antusias, dia berkata : “Surga dalam mimpi Anda tidaklah mempesonakan saya, apa enaknya?? Saya disini sudah melihat bunga dan buah setiap hari, selalu menghirup udara segar dipagi hari, dan masalah sungai? Tahukah Anda rumah saya dekat dari sini, berada dipinggir sungai yang jernih, setiap bangun pagi saya selalu mendapatkan suara gemercik air, lantas apa enaknya surga seperti mimpi Anda?...”
“Kalau Anda ingin tahu gambaran surga yang saya inginkan” dia melanjutkan : “Lihatlah pengunjung-pengunjung itu, sebagian mereka ada wanita muda yang baru tumbuh, datang bersama keluarga ataupun rombongan. Banyak yang berwajah cantik, dibalut baju yang agak terbuka memamerkan bahu mereka yang putih. Mereka hampir semuanya memakai celana jin ketat, tergambar lekuk-lekuk pinggul mereka yang padat. Rasanya ingin sekali saya menerkam mereka satu-persatu, menyeret mereka kebalik pepohonan dan melakukan hubungan sex sepuas-puasnya. Sayang sekali saya tidak boleh melakukan hal itu, Islam melarang keras, malah kita diharuskan menjatuhkan pandangan kalau kebetulan melihat ‘panorama segar’ seperti itu. Hukum yang ada juga akan mengganjar saya kepenjara”. Si penjaga taman berkata lagi :” tahukan Anda surga seperti apa yang saya bayangkan?, isinya adalah perempuan-perempuan muda yang segar, berwajah cantik-cantik dan manja. Saya akan melakukan hubungan sex dengan mereka dan di surga tersebut, sex bebas dilakukan, tidak ada lagi ganjaran dosa.”
Pada suatu kesempatan. Si penjaga taman bercerita tentang surga impiannya kepada temannya, seorang lelaki penata rambut. Dia ceritakan bahwa dia ingin melakukan hubungan sex sesukanya, dengan wanita-wanita yang tersedia disana dan yang paling penting, hal itu tidak lagi menjadi dosa. Namun si penata rambut mencibir dengan gayanya yang kemayu, Ha.. rupanya dia seorang banci: “Saya tidak tertarik dengan surga Anda..”, dan berkata: “Surga yang dipenuhi wanita-wanita muda tidak akan membuat saya bahagia, justru yang saya inginkan adalah surga yang diisi oleh laki-laki tampan berbadan kekar, dadanya bidang penuh otot-otot yang kenyal. Tiap hari saya akan berkencan dengan mereka, ‘bersodomi-ria’, dan homoseksual tidak lagi diharamkan di surga…itulah yang saya impikan”.
“ Apa enaknya surga yang dipenuhi laki-laki tampan?, saya bisa mendapatkannya setiap hari di dunia”, demikian reaksi sang ‘tante girang’ begitu mendengar cerita si penata rambut tentang surga yang dia impikan. “tahukan Anda apa yang menjadi masalah saya sekarang?” dia melanjutkan : “lihatlah, usia saya sudah menjelang 50 tahun, sekalipun saya mati-matian merawat diri, indikasi ketuaan sudah mulai menyerang, kulit mulai bergelombang, lemak dipinggang datang tanpa permisi. Sekalipun saya sudah mengalokasikan anggaran ‘maintainance and repair’ dua kali lipat, namun saya pesimis bisa menahan hukum alam ini”. Suatu waktu nanti, laki-laki muda yang saya kencani akan menyingkir, mereka tentunya lebih memilih tante lain yang lebih muda. “Jadi surga yang saya impikan, adalah surga dimana saya tidak bisa menjadi tua, selalu remaja dan cantik abadi dan saya bisa memamerkan kecantikan abadi saya kepada orang lain dengan bangga”.
Tante girang tersebut kemudian bercerita kepada temannya, seorang wanita, bintang film cantik yang masih muda. Artis ini tertawa renyah mendengar surga impian sang tante, dia kemudian berkata : “ awet muda jelas menjadi keinginan saya juga, namun saya masih muda dan belum bisa merasakan bagaimana hebatnya mendapat serangan ketuaan seperti itu. Yang jelas sekarang saya ingin menikmati hidup sepuas-puasnya. Saya ingin berjalan-jalan keseluruh dunia, pagi hari saya sarapan di sebuah hotel mewah di London, sorenya berdiri memandang matahari terbenam di jendela cottage di Hawaii. Kalau lagi suntuk, saya menyepi di villa kepunyaan saya di Malibu, atau sebuah ‘penthouse’ di tengah kota Manhattan. Suatu saat saya akan menghabiskan duit, berbelanja di Ginza, Tokyo atau sekedar menikmati pergaulan di cafÈ-cafÈ Los Angeles dengan teman-teman artis-artis Hollywood. Begitu pagi hari saya terbangun, saya menemukan rekening saya di Bank telah bertambah karena bunga deposito, lebih besar jumlahnya dari uang yang saya habiskan kemaren”. Si artis melanjutkan angan-angannya dengan pandangan menerawang : “Sayang sekali saya tidak sekaya itu, jadi kalau Anda menanyakan surga seperti apa yang saya dambakan, seperti itulah, saya ingin punya harta yang tak terbatas dan saya bisa menikmatinya sepuas-puasnya”.
“Surga impianmu itu aneh”, demikian tanggapan Pak Konglomerat sambil rebahan di kasur hotel, setelah lelah berkencan dengan si artis. Mereka memang sering bertemu secara rahasia, mojok disuatu tempat tersembunyi. Buat keduanya hubungan yang mereka bangun sesuai kebutuhan masing-masing, suatu ‘simbiosis mutualisma’ demikian istilah biologinya. “Harta yang kamu mimpikan sudah saya punya”, dia melanjutkan, “ bahkan saat inipun saya tidak tahu berapa jumlah uang yang saya miliki karena setiap menit bertambah terus, saya punya rumah dimana-mana, villa di penjuru dunia, mampu membeli apapun yang saya inginkan. Namun lihatlah, ketika kita memesan makanan ‘room service’, saya harus memilih-milih dulu, kebanyakan menu yang tersedia tidak boleh saya makan. Mau nasi maksimum jumlahnya harus segenggam. Gara-gara kencing manis dan kolesterol, saya tidak bebas lagi menikmati apa yang saya miliki. Sampai mau kencanpun saya dihantui pikiran, apa saya ini masih perkasa??, Pak Konglomerat mengeluh :” maka surga yang saya impikan adalah tempat dimana saya tidak pernah sakit, selalu dalam kondisi prima dan segar. Tidak ada lagi pantangan makan, boleh beraktifitas semaunya, itulah surga buat saya”..

Pak Konglomerat bercerita tentang surga impiannya kepada seorang petinju, kebetulan sang petinju baru menyelesaikan pertandingan 12 rondenya, namun dia dipukul KO di ronde keempat. Dengan wajah lembam, si petinju mendengar cerita Pak Konglomerat sampai akhirnya dia menimpali : “Itu bukan surga saya, lihatlah, saya seorang yang berbadan sehat dan stamina prima. Tiap hari saya latihan keras meningkatkan kondisi, saya jarang sakit. Namun saya baru dihabisi oleh lawan saya yang lebih kuat, Cuma bertahan sampai ronde keempat”. Sambil meringis kesakitan si petinju berkata lagi : “ Surga yang saya impikan adalah kejayaan, suatu tempat dimana saya menjadi petinju tak terkalahkan sekalipun telah melakukan banyak pertandingan dengan jago-jago tinju termahsyur. Setiap lawan menggigil ketakutan begitu tahu akan berhadapan dengan saya. Dan ketika saya berjalan dikeramaian, semua mata memandang saya dengan kagum, beberapa malah menegur saya dengan memanggil ramah..hai Champ..!, itulah surga yang saya inginkan.”
Suatu ketika orang-orang ini bertemu, terjadi perdebatan hangat ketika mereka sampai kepada topik pembicaraan mengenai surga. Tentunya masing-masing bertahan dengan persepsinya sendiri terhadap apa yang mereka inginkan. Kelihatan bahwa akhirnya yang berada ‘diatas angin’ adalah si Arab badui, karena dia sering menyitir ayat-ayat Al Qur’an mengenai surga, bahwa surga adalah jannah (taman, kebun), makan buah-buahan sepuas-puasnya dan sungai-sungai yang mengalir. Merasa tidak puas, akhirnya mereka bersepakat untuk pergi mencari seorang ustadz menanyakan soal rumit ini.
Kebetulan ustadz yang pertama kali mereka temukan adalah seorang ‘ustadz tekstual’, tamatan madrasah ibtidaiyah di kampung, ‘ustadz kaki lima’ demikian menurut sebagian orang. Setelah semuanya menceritakan permasalahan dan pendapat mereka, giliran ustadz bingung karena ini betul-betul masalah yang tidak dia sangka-sangka dan belum pernah ditanyakan orang-orang sebelumnya. Namun sebagai seorang muslim tekstual, dia kemudian meraih Al-Qur’an dari rak buku dan berdo’a, mudah-mudahan Allah membuka pikirannya dan mampu memberikan jawaban yang benar. Kemudian sang ustadz membuka Al Qur’an, terbuka pada surat An Nahl ayat 31 :
“(yaitu) surga ’Adn yang mereka masuk ke dalamnya, mengalir di bawahnya sungai-sungai, di dalam surga itu mereka mendapat segala apa yang mereka kehendaki. Demikianlah Allah memberi balasan kepada orang-orang yang bertakwa”
Merasa belum puas, sang ustadz mencoba lagi membalik-balikan halaman Al Qur’an tersebut dan dia kemudian berhenti pada surat Al Furqaan ayat 16:
“Bagi mereka di dalam surga itu apa yang mereka kehendaki, sedang mereka kekal (di dalamnya). (Hal itu) adalah janji dari Tuhanmu yang patut dimohonkan (kepada-Nya)”
Karena sudah puas dan yakin akan bisa memberikan jawaban, Pak ustadz kita kemudian berkata : “Sekarang saya minta Anda semua berkonsentrasi dan pejamkan mata”. Agak terheran, mereka semua mengikuti perintah ustadz tersebut. “Sekarang bayangkanlah surga seperti apa yang kalian impikan” ustadz melanjutkan : “ Sudah…!?”, Mereka semua mengangguk karena sudah membayangkan kondisi seperti apa yang mereka inginkan di surga. Ustadz kemudian berkata : “ Nah.. apa yang sudah kalian bayangkan, kalikan sepuluh kali lipat, ketahuilah… kalian akan mendapatkan surga lebih dari itu,
karena dalam Al Qur’an, Allah telah berfirman sebanyak dua kali.. mereka akan mendapat segala apa yang mereka kehendaki…”
Entah apa yang terjadi selanjutnya, namun setelah peristiwa dengan sang ustadz tersebut, sangat ajaib karena mereka semua telah berobah. Si Arab Badui menjadi seorang yang sangat rajin beribadah bahkan orang-orang sering menemukannya tengah beriktikaf di Mesjidil Haram, shalat dan berdo’a sebanyak mungkin. Si penjaga taman berubah menjadi seseorang yang berusaha menjaga pandangan dan pikirannya dari hal-hal yang mengundang nafsu syahwat, si penata rambut mendadak jadi orang sholeh menjauhkan diri dari tindakan homoseksual, si tante girang betul-betul berhenti memelihara ‘daun muda’ malah dia kemudian aktif menggalang kelompok pengajian ibu-ibu dengan aktifitas sosial yang sibuk, si artis telah memakai jilbab, tidak mau lagi mengumbar aurat, dia sekarang memilih-milih peran membintangi film yang bermutu dan jauh dari adegan membuka ‘sekwilda’- sekitar wilayah dada. Pak Konglomerat terlihat makin giat berusaha dan berekspansi, namun satu hal, semua hasil keutungannya ternyata disalurkan kebeberapa yayasan sosial yang dia bentuk sendiri, yang bergerak di bidang bantuan bea siswa, anak terlantar, dakwah agama dan bencana alam, sedangkan dia sendiri menjalani hidup zuhud, sederhana dengan harta, rumah, pakaian secukupnya. Dan si petinju, dia tetap menjalani profesinya sebagai petinju, namun soal kalah menang bukan lagi menjadi beban pikirannya. Dia lebih berkonsentrasi untuk menempa dirinya sendiri agar tidak jadi bulan-bulanan lawannya, berlatih giat setiap hari, tidak kecewa kalau kalah dan tidak berbangga hati secara berlebihan kalau memperoleh kemenangan.
Mereka semua mendadak jadi ahli ibadah, rajin sholat, puasa, zakat dan hampir semuanya berhasil menunaikan ibadah haji. Mereka menjadi pribadi yang disenangi di lingkungannya, ramah, suka menolong, selalu aktif dalam kegiatan sosial, betul-betul menjadi rahmat bagi lingkungan. Pada akhir dua pertiga malam, mereka selalu bangun melakukan shalat tahajud, bersujud dihadapan Allah sedalam-dalamnya bahkan kerap diiringi oleh airmata yang mengalir, mereka berdo’a dengan penuh harap :” Yaa.. Allah, ijinkanlah kami ini menjadi hambamu yang patuh, berilah kami kekuatan untuk menghindari semua larangan-larangan-Mu, selamatkanlah kami dari kehidupan dunia yang menjerumuskan ini…dan limpahkanlah kepada kami surga-Mu, surga yang kami impikan……
demikianlah ilustrasi cerita yang ditulis oleh sdr Archa
Kisah diatas merupakan kisah “tentang impian beberapa Manusia” yang saya kutip dari artikel dari www.swaramuslim.net sebagai gambaran bahwa setiap manusia punya harapan dan dambaan yang ia harap untuk didapatkan tetapi ternyata kenikmatan-kenikmatan keduniawain tersebut menggambarkan secara jelas bahwa semua adalah kenikmatan tersebut kalau dinilai dari sudut pandang kedunawian adalah kenikmatan semu / fatamorgana!
Tetapi seperti apa gambaran Syurga menurut Islam?
Gambaran syurga didalam Islam sering digambarkan seperti apa yang diharapkan :orang-orang dalam kisah tersebut,yaitu :sungai yang mengalir,taman-taman yang indah,tentang bidadari dll
Seakan-akan gambaran syurga Islam bersifat Dunawiyah semata!
Sehingga sering dipersoalkan oleh mereka-kereka orang luar terutama oleh orang-orang Kristen,yang menurut mereka syurga Islam hanya bersifat memenuhi “kedagingan”semata!
Tetapi benarkah demikian?
Maka untuk menjawab tentang apa yang mereka persoalkan maka cara yang paling tepat adalah memahami Syurga menurut Islam secara utuh = tidak hanya memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadist tentang syurga tidak secara sepotong tetapi secara utuh!
Dan setidaknya di kisah diatas disinggung sedikit bahwa “gambaran Syurga menurut Islam “ adalah :
*** “Bagi mereka di dalam surga itu apa yang mereka kehendaki, sedang mereka kekal (di dalamnya). (Hal itu) adalah janji dari Tuhanmu yang patut dimohonkan (kepada-Nya)”…….****
jadi apa saja yang dikehendaki /diinginkan akan diberikan!
Apakah ia ingin seperti malaikat atau tidak ingin kawin dan dikawinkan (barangkali ada manusia yang ingin masuk syurga punya keinginan seperti itu ) akan dikabulkan.
Di dalam Islam jangankan hanya keinginan seperti Malaikat,sejak awal penciptaan Manusia sudah ditegaskan bahwa kedudukan “manusia justru lebih tinggi dari Malaikat”! karena tujuan manusia pertama diciptakan sangat jelas yaitu sebagai “khalifah” di Bumi!
Tetapi kedudukan lebih tinggi bagi manusia-manusia seperti kita dibutuhkan sebuah perjuangan /amal perbuatan dan keihklasan!
Dan keduanya harus seiring sejalan,karena punya perjuangan yang sungguh-sungguh tetapi tanpa didasari keihklasan maka perjuangan tersebut akan begitu mudahnya perjuangan tersebut dikotori oleh perjuangan-perjuangan yang menyimpang!
Dan keikhlasan tanpa disertai perjuangan sama juga O(kosong),karena Manusia sejak awal diciptakan sebagai khalifah,yang harus dinamis dalam melaksanakan kehidupan dan tidak statis,yang ia tidak berbuat apa-apa.

Tetapi kalau ia tidak mampu menjadi khalifah yang baik,bukan menjadi “pengelola dunia yang baik” maka kedudukannya jatuh ke derajat yang sangat rendah,bahkan kedudukannya lebih rendah dari pada binatang!
Dan Sang Pencipta tahu betul dengan “karakteristik ciptaannya” yaitu apa-apa yang ia dambakan agar bisa memotivasi mereka untuk senantiasa berjuang dengan dasar Ikhlas dan Ikhlas dalam perjuangan!
Jadi dalam memahami tentang “teks-teks” tentang syurga didalam Islam jangan hanya dipahami secara “tekstual .hurufiah” tetapi hendaknya dipahami betul kontekstual dan maknawiyah kata-kata di dalam ayat-ayat AL Qur’an maupun Hadist! Karena di ayat lain Al Qur’an maupun Hadist menjelaskan:
[56:60]Kami telah menentukan kematian diantara kamu dan Kami sekali-kali tidak dapat dikalahkan
[56:61] untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) DALAM KEADAAN YANG KAMU TIDAK KETAHUI.
jadi dalam hal ini bagaimana keadaan “manusia di akhirat nanti” tidak diketahui oleh Manusia =
belum pernah terlihat oleh mata. Terdengar oleh telinga dan terbayang dalam pikiran manusia!
Lalu bagaimana penejelasan-penjelasan ayat-ayat lain tentang keadaan syurga yang ada sungai mengaliur dibawahnya. Bidadari dll?
Semua itu adalah penjelasan untuk kadar kemampuan manusia dalam memahami tentang kenikmatan!
Maka bisa kita logikakan seperti menjelaskan “manfaat computer’ pada orang primitive!
Tentu saja penjelasannya menyesuaikan dengan kemampuan pikir obyek “yang dijelaskan”
Bukankah salah satu tujuan beragama ada untuk mendapatkan kenikmatan Abadi??
Bagaimana agar Manusia termotifasi untuk mendapatkannya??
Salahkah untuk memberi iming-iming agar manusia termotifasi mendapatkannya sesuai dengan :kenikmatan yang dipahami didunia??
Agar manusia bersemangat mendapatkannya??
Maka justru sangat konyol sekali kalau ada yang menilai “penjelasan-penjelasan “ tersebut di ukur dengan norma “keduniaan” sekarang!
Saya akan memberiilustrasi bahwa sebuah pekerjaan yang sama dilakukan waktu yang berbeda maka nilai pekerjaan tersebut berbeda nilainya!
Dan ilustrasi yang saya berikan tidak jauh dari “ilustrasi yang sering di permasalahkan” yaitu mengenai hubungan Intim antara laki-laki dan wanita!
Karena saya yakin yang aktif diforum ini orang-orang dewasa,jadi ilustrasi ini tidak akan disalah pahami!
1. Persoalan intim tersebut jangankan melakukan membicarakan saja termasuk tabu kalau yang berbicara adalah “anak yang belum cukup umur”
2 . orang yang sudah cukup umur dan punya pasangan, dan Ia melakukan hubungan tersebut tetapi hubungan tersebut belum di syahkan oleh agama yang diyakininya maka ia sudah berbuat Dosa besar = zina
3. orang yang sudah cukup umur dan sudah menikah tetapi ia berhubungan intim bukan dengan pasangan yang syah menurut keyakianannya maka sama saja berbuat dosa besar = zina
4. orang yang sudah cukup umur dan ia sudah punya pasangan tetap tetapi ia tidak mau menggauli pasangannya maka inipun juga telah berbuat dosa
5. orang yang sudah cukup umur dan berhubungan intim dengan pasangan yang syah maka itu sama sekali tidak dosa tetapi justru ia sedang melakukan salah satu kewajibannya sebagai suami istri.
Sekarang kita kaji secara ilmiah apakah berhubungan intim yang dilakukan suami istri yang syah dengan orang yang berhubungan intim yang dilakukan dengan pasangan yang bukan suami istri??
Adakah perbedaanya?
Tidak ada bukan??
Jadi kesimpulannya sesuatu tindakan /perbuatan tidak bisa dinilai secara generalisir = menilai apa yang terjadi “di akhirat” dengan ukuran dunia!
Itu sama saja menilai hubungan intim wanita suami istri yang syah dinilai dari sudut pandang / ukuran “orang yang belum menikah !
Jadi kalau ada orang yang mempersoalkan gambaran “syurga didalam Islam” di ukur dengan penilaian dunia alangkah konyolnya penilaian tersebut………………………Justru kalau mau fair berdiskusi atau berharap akan mendapatkan “ kebenaran atau pencerahan “ maka alangkah baiknya kalau yang tidak setuju berani memberikan perbandingan dengan konsep Syurga menurut keyakinannya”
Kemudian tinggal terserah pembaca yang akan menilai Syurga yang mana yang membuat ia bersemangat untuk mendapatkannya…..
wassalam
romadi
Diposting oleh id Amor di 11:39:00 AM
2 komentar:
paiman mengatakan...
Saya kira anda membuat threat ini hanya berdasarkan pembelaan semata tanpa m endalami isi al kuran anda sendiri.
Sudah jelas tercantum bahwa alkuran dan hadiz anda telah menjelaskan dengan jelas bagaimana rotasi, jalur pemuasan nafsu dalam versi surga islam. Hal yang semacam ini (tentang maksiat dalam surga anda) seharusnya tidak usah anda lakukan penafsiran yg menjurus pembelaan spy kelihatan baik adanya. Tapi sebaiknya anda menerima ayat2 itu dengan KETAATAN bhw itu adalah isi kuran yang anda anggap dr Alloh.
Jadi menurut saya: JIKA kuran adlh kitab dr ALLOH, maka ANDA harus Tegas menerima ISInya dengan KETAATAN. Masalah surga tak perlu di tafsirkan tapi perlu diterima dgn ketaatan. Jd kalau kitab anda bilang ada jual beli perempuan untuk memuaskan nafsu (dlm arti singkatnya) maka terimalah itu.OKSabtu, September 29, 2007 id Amor mengatakan... sdr paiman menulis
Saya kira anda membuat threat ini hanya berdasarkan pembelaan semata tanpa m endalami isi al kuran anda sendiri.id amor menjawab
sdr Paiman.... dari komentar anda sangat jelas sekali anda adalah orang "non Muslim" yang mungkin sangat hoby menyerang persoalan syurga Islam..
dan anda dalam hal ini menolak bukan dengan argumentasi tapi lebih memilih dengan asumsi ...
kemudian melontarkan tuduhan kepada penulis hanya sekedar pembelaan semata..
kalau anda punya argumentasi pasti punya keberanian untuk menanggapi satu persatu uraian artikel tersebut bukan komentar yang "membabi buta"
kemudian paiman menulis
Sudah jelas tercantum bahwa alkuran dan hadiz anda telah menjelaskan dengan jelas bagaimana rotasi, jalur pemuasan nafsu dalam versi surga islam. Hal yang semacam ini (tentang maksiat dalam surga anda)
apanya yang maksiat??
anda menilai persoalan surga Islam dari sudut pandang dari mana??
justru sangat jelas sekali anda menilai persoalan "surga" dari pandangan (keduniaan) sekarang..
dan memahami tentang al-qur'an dan hadist secara sepotong-sepotong...
dan sebaiknya perhatikan betul argumentasi ayat-ayat yang saya sampaikan maupun ilustrasi yang saya buat di thread ini...
bukankah argumentasi dalam thread tersebut juga berdasarkan argumentasi Al-qur'an dan Hadist??
jadi dalam hal ini penulis tetap menerima penjelasan Al-Qur'an dan Hadist... tetapi tentu saja memperhatikan penjelasan-penjelasan ayat-ayat dan Hadist yang berkenaan dengannya.
dan secara tegas menerima isi Al-Qur'an dan Hadist dengan ketaatan... tetapi tentu saja bukan dengan pemahaman yang dangkal..
dan dimana ayat ada jual beli perempuan untuk memuaskan nafsu??
jangan-jangan pemahaman anda semacam ini menunjukan betapa "piciknya" anda dalam memahami sesuatu...
terutama tentang Islam....
kalau anda memang punya argumentasi...soal yang anda sampaikan...dengan senang hati saya akan melayani argumentasi anda..