Powered By Blogger

SETUJUKAH GUBERNUR KE BAWAH DIPILIH DPRD

belajar sadar diri terhadap aturan hukum Tuhan m,aupun Negara

Kamis, 02 Juli 2009

inilo!

Sampai saat ini KPK telah menunjukkan kiprah nyata, bahkan telah menunjukkan taringnya. Secara sistematis, lembaga yang dipimpin oleh Antasari ini baru menyentuh level atas, sekalipun belum atas benar. Last but not least, kalangan DPR dibuat kalang kabut oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ini. Satu per satu para anggota legislatif ini dibuka boroknya. Demikian juga dengan Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, dan sebagainya. Kita masih menunggu tangan dingin KPK untuk memberangus para koruptor di instansi-instansi penting lainnya, bahkan di semua instansi di Indonesia, tidak terkecuali instansi pendidikan, termasuk sekolah-sekolah.

Sepak terjang KPK untuk membersihkan lingkungan sekolah dari para koruptor kelas teri amat didambakan oleh segenap masyarakat. Dipastikan ada banyak koruptor di lingkungan pendidikan kita yang akan terjaring oleh KPK. Meskipun angka korupsi di sekolah-sekolah itu amat kecil, akan menjadi sangat besar jika terakumulasi secara nasional. Namun, yang lebih penting, bukan masalah kuantitatifnya, melainkan masalah moral dan psikologisnya. Sebagaimana dimaklumi, dunia pendidikan sangat bersentuhan dengan sensitivitas. Biaya pendidikan hampir menjadi anggaran pokok dalam setiap keluarga di Indonesia. Biaya yang tinggi berpengaruh besar pada kestabilan perekonomian keluarga. Pada sisi yang lain, kualitas pendidikan nasional sungguh didambakan segenap bangsa Indonesia. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan bangsa yang berkualitas. Sementara, prestasi pendidikan Indonesia sampai saat ini berada di peringkat yang sangat rendah, bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia.

Berbicara soal kualitas pendidikan, tidak terlepas dari besarnya anggaran. Hingga saat ini, Pemerintah belum mampu memenuhi amanat UUD 1945 Amandemen untuk mengalokasikan 20 persen anggaran pendidikan dari APBN. Padahal, alokasi anggaran pendidikan sebesar itu amat ditunggu oleh para pelaku pendidikan. Mereka bagai memakan buah simalakama. Masyarakat menuntutnya untuk meningkatkan mutu pendidikan, sedangkan permintaan anggaran tidak dapat dipenuhi pemerintah. Akibatnya, mereka (dari Perguruan Tinggi sampai Sekolah Dasar) memberanikan mengambil inisiatif sendiri. Mereka berlomba-lomba memberi label baru pada lembaganya. Dan, sebagai konsekuensinya, mereka dengan leluasa dan rakus meraup dana dari para orang tua calon peserta didik. Kapitalisme pendidikan pun tumbuh dengan subur di negeri yang berdasarkan Pancasila ini. Tidak ada yang berani menghentikan, bahkan pemerintah sekali pun.

Penyerapan dana masyarakat dalam penerimaan peserta didik baru dan penerimaan mahasiswa baru dari tahun ke tahun selalu meningkat, dan jumlahnya semakin besar, yang bila diakumulasikan secara nasional bisa mencapai triliunan rupiah. Penggunaan dana yang besar itu diduga tidak akuntabel, sehingga harus diaudit. Sebenarnya, ada lembaga-lembaga internal maupun eksternal, daerah maupun pusat yang berkompeten mengurusi, mengawasi, dan mengaudit keuangan di lembaga-lembaga pendidikan tersebut, tetapi selalu tidak diketahui hasil kerjanya, dan juga tidak pernah dirasakan oleh masyarakat. Terbukti, praktik-praktik seperti itu masih ada saja. Maka, KPK diharapkan untuk turun tangan. Masyarakat sangat merindukan hasilnya.

Sebenarnya, bukan hanya praktik penerimaan peserta didik baru dan penerimaan mahasiswa baru yang menjadi borok di lembaga-lembaga pendidikan kita saat ini, praktik-praktik kotor lainnya diduga ada banyak sekali. Mulai dari penggunaan dana APBS sampai dengan dana-dana aneka program dari pemerintah atau intitusi lain diduga sarat dengan ketidakjujuran. Sekali lagi KPK sangat diharapkan menyentuhnya. KPK diharapkan mau mengaudit keuangan sekolah-sekolah (dan perguruan tinggi) dan menyeret pelaku-pelaku pendidikan yang kedapatan melakukan korupsi. Bersihkan lingkungan pendidikan dari korupsi! Mari kita bangun lingkungan pendidikan yang steril.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar