susahnya menjadi orang sadar hukum!
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA 
NOMOR  50  TAHUN  2009 2009 
TENTANG 
PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 
TENTANG PERADILAN AGAMA 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 
 
Menimbang  :  a.  bahwa  kekuasaan  kehakiman  adalah  kekuasaan  yang 
merdeka  untuk  menyelenggarakan  peradilan  guna 
menegakkan  hukum  dan  keadilan  sehingga  perlu 
diwujudkan  adanya  lembaga  peradilan  yang  bersih  dan 
berwibawa  dalam  memenuhi  rasa  keadilan  dalam 
masyarakat; 
b.  bahwa  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang 
Peradilan  Agama  sebagaimana  telah  diubah  dengan 
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan 
Atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang 
Peradilan  Agama  sudah  tidak  sesuai  lagi  dengan 
perkembangan  kebutuhan  hukum  masyarakat  dan 
ketatanegaraan  menurut  Undang-Undang  Dasar  Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945;  
c.  bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana 
dimaksud  pada    huruf  a  dan  huruf  b  perlu  membentuk 
Undang-Undang  tentang  Perubahan  Kedua  Atas  Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;    
Mengingat  :  1.  Pasal  20,  Pasal  21,  Pasal  24,  dan  Pasal  25  Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
2.  Undang-Undang  Nomor  14  Tahun  1985  tentang 
Mahkamah  Agung  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia 
Tahun  1985  Nomor  73,  Tambahan  Lembaran  Negara 
Republik  Indonesia  Nomor  3316)  sebagaimana  diubah 
terakhir  dengan  Undang-Undang  Nomor  3    Tahun  2009 
tentang  Perubahan  Kedua  Atas  Undang-Undang  Nomor 
14  Tahun  1985  tentang  Mahkamah  Agung  (Lembaran 
Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2009  Nomor  3, 
Tambahan  Lembaran  Negara  Repulik  Indonesia  Nomor 
4958); 
 3. Undang-Undang . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 2 - 
3.  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang  Peradilan 
Agama  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 
1989  Nomor  49,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik 
Indonesia Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan 
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan 
Atas  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun  1989  tentang 
Peradilan  Agama  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia 
Tahun  2006  Nomor  22,  Tambahan  Lembaran  Negara 
Republik Indonesia Nomor 4611); 
4.  Undang-Undang  Nomor  48  Tahun  2009  tentang 
Kekuasaan  Kehakiman  (Lembaran  Negara  Republik 
Indonesia  Tahun 2009  Nomor  157,   Tambahan Lembaran 
Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 
Dengan Persetujuan Bersama 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 
dan 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA 
MEMUTUSKAN: 
Menetapkan  :  UNDANG-UNDANG  TENTANG  PERUBAHAN  KEDUA  ATAS 
UNDANG-UNDANG  NOMOR  7  TAHUN  1989  TENTANG 
PERADILAN AGAMA. 
  
Pasal I 
 
Beberapa  ketentuan  dalam  Undang-Undang  Nomor  7  Tahun 
1989  tentang  Peradilan  Agama  (Lembaran  Negara  Republik 
Indonesia Tahun 1989 Nomor 49,  Tambahan Lembaran Negara 
Republik  Indonesia  Nomor  3400)  sebagaimana  yang  telah 
diubah  dengan  Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang 
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang 
Peradilan Agama  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 
2006  Nomor  22,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik 
Indonesia Nomor 4611), diubah sebagai berikut: 
 
 1.  Ketentuan  Pasal  1  diubah  sehingga  Pasal  1  berbunyi 
sebagai berikut: 
 
 Pasal 1 . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 3 - 
Pasal 1 
 
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 
1.  Peradilan  Agama  adalah  peradilan  bagi  orang-orang 
yang beragama Islam. 
2.  Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan 
tinggi agama di lingkungan peradilan agama.  
3.  Hakim  adalah  hakim  pada  pengadilan  agama  dan 
hakim pada pengadilan tinggi agama. 
4.  Pegawai  Pencatat  Nikah  adalah  pegawai  pencatat 
nikah pada kantor urusan agama. 
5.  Juru  Sita dan/atau Juru Sita  Pengganti adalah juru 
sita  dan/atau  juru  sita  pengganti  pada  pengadilan 
agama. 
6.  Mahkamah  Agung  adalah  salah  satu  pelaku 
kekuasaan  kehakiman  sebagaimana  dimaksud 
dalam  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik 
Indonesia Tahun 1945.  
7.  Komisi Yudisial adalah lembaga negara  sebagaimana 
dimaksud  dalam  Undang-Undang  Dasar  Negara 
Republik Indonesia Tahun 1945. 
8.  Pengadilan  Khusus  adalah  pengadilan  yang 
mempunyai  kewenangan  untuk  memeriksa, 
mengadili,  dan  memutus  perkara  tertentu  yang 
hanya  dapat  dibentuk  dalam  salah  satu  lingkungan 
badan  peradilan  yang  berada  di  bawah  Mahkamah 
Agung  yang diatur dalam undang-undang. 
9.  Hakim  ad hoc  adalah hakim yang  bersifat sementara 
yang  memiliki  keahlian  dan  pengalaman  di  bidang 
tertentu  untuk memeriksa, mengadili,  dan  memutus 
suatu  perkara  yang  pengangkatannya  diatur  dalam 
undang-undang. 
 
 2.  Ketentuan  Pasal  3A  diubah  sehingga  Pasal  3A  berbunyi 
sebagai berikut: 
 
 Pasal 3A 
(1)  Di  lingkungan  peradilan  agama  dapat  dibentuk 
pengadilan  khusus    yang  diatur  dengan  undang-
undang. 
 (2) Peradilan . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 4 - 
(2)  Peradilan  Syari’ah  Islam  di  Provinsi  Nanggroe  Aceh 
Darussalam  merupakan  pengadilan  khusus  dalam 
lingkungan  peradilan  agama  sepanjang 
kewenangannya  menyangkut  kewenangan  peradilan 
agama,  dan  merupakan  pengadilan  khusus  dalam 
lingkungan  peradilan  umum  sepanjang 
kewenangannya  menyangkut  kewenangan  peradilan 
umum. 
(3)  Pada  pengadilan  khusus  dapat  diangkat  hakim  ad 
hoc  untuk  memeriksa,  mengadili,  dan  memutus 
perkara,  yang  membutuhkan  keahlian  dan 
pengalaman  dalam  bidang  tertentu  dan  dalam 
jangka waktu tertentu. 
(4)  Ketentuan mengenai  syarat, tata cara  pengangkatan, 
dan  pemberhentian  serta  tunjangan  hakim  ad  hoc 
diatur dalam peraturan perundang-undangan. 
 
 3.  Di antara  Pasal 12 dan Pasal  13  disisipkan 6 (enam) pasal, 
yakni  Pasal  12A,  Pasal  12B,  Pasal  12C,  Pasal  12D,  Pasal 
12E, dan Pasal 12F yang berbunyi sebagai berikut:  
 
 Pasal 12A 
(1)  Pengawasan  internal  atas  tingkah  laku  hakim 
dilakukan oleh Mahkamah Agung. 
(2)  Selain  pengawasan  sebagaimana  dimaksud  pada  
ayat  (1),  untuk  menjaga  dan  menegakkan 
kehormatan,  keluhuran  martabat,  serta  perilaku 
hakim,  pengawasan  eksternal  atas  perilaku  hakim 
dilakukan oleh Komisi Yudisial. 
 
Pasal 12B 
(1)  Hakim  harus  memiliki  integritas  dan  kepribadian 
tidak  tercela,  jujur,  adil,  profesional,  bertakwa,  dan 
berakhlak  mulia,  serta  berpengalaman  di  bidang 
hukum. 
(2)  Hakim  wajib  menaati  Kode  Etik  dan  Pedoman 
Perilaku Hakim.  
 
 
 Pasal 12C . . . 
 
  
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 5 - 
Pasal 12C 
(1)  Dalam  melakukan  pengawasan  hakim  sebagaimana  
dimaksud  dalam  Pasal  12,  Komisi  Yudisial 
melakukan koordinasi dengan Mahkamah Agung. 
(2)  Dalam  hal  terdapat  perbedaan  antara  hasil 
pengawasan  internal  yang  dilakukan  oleh 
Mahkamah  Agung  dan  hasil  pengawasan  eksternal 
yang  dilakukan  oleh  Komisi  Yudisial,  pemeriksaan 
dilakukan  bersama  oleh  Mahkamah  Agung  dan 
Komisi Yudisial. 
 
Pasal 12D 
(1)  Dalam  melaksanakan  pengawasan  eksternal 
sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  12A  ayat  (2), 
Komisi  Yudisial  mempunyai  tugas  melakukan 
pengawasan  terhadap  perilaku  hakim  berdasarkan 
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 
(2)  Dalam  melaksanakan  pengawasan  sebagaimana 
dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial berwenang: 
a.  menerima  dan  menindaklanjuti  pengaduan 
masyarakat  dan/atau  informasi  tentang 
dugaan  pelanggaran  Kode  Etik  dan  Pedoman 
Perilaku Hakim; 
b.  memeriksa  dan  memutus  dugaan  pelanggaran 
atas Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; 
c.  dapat menghadiri persidangan di pengadilan; 
d.  menerima  dan  menindaklanjuti  pengaduan 
Mahkamah  Agung  dan  badan-badan  peradilan 
di  bawah  Mahkamah  Agung  atas  dugaan 
pelanggaran  Kode  Etik  dan  Pedoman  Perilaku 
Hakim; 
e.  melakukan  verifikasi  terhadap  pengaduan 
sebagaimana  dimaksud  dalam  huruf  a  dan        
huruf d; 
f.  meminta  keterangan  atau  data  kepada 
Mahkamah Agung dan/atau pengadilan; 
g. melakukan . . .
belajar sadar diri terhadap aturan hukum Tuhan m,aupun Negara
Kamis, 24 Juni 2010
Jumat, 04 Juni 2010
pemimpin
Tidak mudah menjadi pemimpin. Juga tidak mudah
memilih pemimpin. Ini akan dialami oleh suatu
masayarakat yang rusak. Masyarakat yang para pemimpin
dan politisinya menjadikan Book of The Prince sebagai
kitab suci mereka dan Machiavelli sebagai panutan
mereka. Masyarakat yang memberikan kesempatan pada
orang-orang bodoh tampil bicara. Kondisi ini pernah
digambarkan Nabi Saw dalam sabdanya:
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh
tipu daya, di masa itu para pendusta dibenarkan
omongannya sedangkan orang-orang jujur didustakan, di
masa itu para pengkhianat dipercaya sedangkan orang
yang terpercaya justru tidak dipercaya, dan pada masa
itu muncul Ruwaibidlah, ditanyakan kepada beliau Saw
apa itu Ruwaibidlah? Rasul menjawab: Seorang yang
bodoh (yang dipercaya berbicara) tentang masalah
rakyat/publik.” [HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah].
Agar kita tidak terjatuh pada kondisi buruk seperti
diperingatkan Nabi Saw di atas, maka perlu dibentuk
kesadaran umum (public awaraness) tentang
karakteristik pemimpin yang layak mengurus publik.
Tulisan ini mencoba memberikan sumbangsih pemikiran
untuk itu.
Tanggung Jawab Pemimpin
Kepemimpinan adalah amanat untuk mengurus orang-orang
atau rakyat yang dipimpin. Rasulullah Saw
mengumpamakan pemimpin laksana penggembala (ra’in).
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
“Imam yang diangkat untuk memimpin manusia itu adalah
laksana penggembala, dan dia akan dimintai
pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang
digembalakannya).” [HR. Imam al-Bukhari dari sahabat
Abdullah bin Umar r.a.].
memilih pemimpin. Ini akan dialami oleh suatu
masayarakat yang rusak. Masyarakat yang para pemimpin
dan politisinya menjadikan Book of The Prince sebagai
kitab suci mereka dan Machiavelli sebagai panutan
mereka. Masyarakat yang memberikan kesempatan pada
orang-orang bodoh tampil bicara. Kondisi ini pernah
digambarkan Nabi Saw dalam sabdanya:
“Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang penuh
tipu daya, di masa itu para pendusta dibenarkan
omongannya sedangkan orang-orang jujur didustakan, di
masa itu para pengkhianat dipercaya sedangkan orang
yang terpercaya justru tidak dipercaya, dan pada masa
itu muncul Ruwaibidlah, ditanyakan kepada beliau Saw
apa itu Ruwaibidlah? Rasul menjawab: Seorang yang
bodoh (yang dipercaya berbicara) tentang masalah
rakyat/publik.” [HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah].
Agar kita tidak terjatuh pada kondisi buruk seperti
diperingatkan Nabi Saw di atas, maka perlu dibentuk
kesadaran umum (public awaraness) tentang
karakteristik pemimpin yang layak mengurus publik.
Tulisan ini mencoba memberikan sumbangsih pemikiran
untuk itu.
Tanggung Jawab Pemimpin
Kepemimpinan adalah amanat untuk mengurus orang-orang
atau rakyat yang dipimpin. Rasulullah Saw
mengumpamakan pemimpin laksana penggembala (ra’in).
Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
“Imam yang diangkat untuk memimpin manusia itu adalah
laksana penggembala, dan dia akan dimintai
pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang
digembalakannya).” [HR. Imam al-Bukhari dari sahabat
Abdullah bin Umar r.a.].
Langganan:
Komentar (Atom)
